Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Buku Diary

Cerpen : Buku Diary
Gambar by @google

Malam ini terasa begitu sepi. Sejak tiga jam yang lalu hujan turun cukup deras membuat seisi kampung di desaku seperti tak ada penghuni lagi. 

Suasana yang sepi tak ada kendaraan yang melintas di jalan depan rumah. Tidak seperti biasanya, setiap malam pasti ramai dengan kendaraan lalu lalang dari arah jalan barat ke arah timur. Ada menuju ke arah pasar dan ada juga yang pergi jalan-jalan mencari angin segar.

Di samping itu ada juga anak-anak muda duduk bercengrama di depan rumah bersama dengan teman-temannya. Mereka terlihat begitu asyik bermain tebak-tebakan tentang mengurutkan sebuah kata. Kalau ada yang salah tidak bisa memberi jawaban, lantas mereka bermain catur hingga larut malam. 

Tetapi tidak dengan malam ini. Mereka tidur lebih awal karena cuaca setelah hujan menjadi sangat dingin dan yanng pasti nyenyak buat tidur, dari pada harus bermain di dalam suasana dingin.

Hanya terdengar beberapa hewan yang berbunyi saling bersahutan. Terdengar olehku ada binatang kodok, jangkrik, laron, dan juga burung hantu yang mulai membuyikan suara khasnya dipohon jambu samping rumah. Sepertinya binatang-binatang tersebut merasa sangat senang dengan keadaan seperti ini.  

Sementara aku masih duduk termenung diantara kursi plastik berwarna biru.Kursi yang ku beli dari pakde lima tahun yang lalu. Sekarang sudah mulai rusak, tidak ada lagi bagian penyangga belakang. Kursi plasitik inilah yang selalu menemaniku setiap waktu. Siang dan malam menjadi bagian di sela aktivitasku untuk sekedar istirahat dan menyelesaikan tugas pekerjaanku.

Pukul 21.30 aku masih dalam posisi duduk memandang kearah dinding papan putih. Tak ada gambar foto, ataupun poster  yang menempel didinding papan itu. Hanya terlihat seekor cicak sepertinya sedang mengintai nyamuk yang sedang berterbangan di antara lampu-lampu ruang tamu.

Sekejap aku mengamati gerak-gerik cicak tersebut, seolah nyamuk yang sedang terbang di tatapnya dengan pandangan mata tanpa berkedip. Dia tak ingin meninggalkan apa yang akan di lakukan oleh cicak itu.

Tak lama kemudian kepala cicak itu turut memandangi ku sekejap dan akhirnya berjalan berbalik badan dan berlari sangat cepat meninggalkanku. Mungkin dia tahu, kalau aku mengamati gerak-geriknya.

Lalu aku berdiri dan meraih buku tulis dengan ukuran besar dan tebal. Buku tebal ini adalah kumpulan catatan pribadiku yang aku tulis sejak masih di bangku SMP. Pandanganku seakan terhanyut dalam lamunan setelah membuka beberapa lembar buku tebal tersebut. Apalagi setelah melihat bagian cover depan yang bergambar cartun. 

Di bagian cover tersebut terdapat tulisan biodata singkat tentang diri diriku

Nama : TRIO
Alamat : Banyumas
Kelas : II.B
Hobi : Olahraga
Cita-cita : 

Iya! Buku catatan pribadi ini menjadi bukti sejarah baru dari setiap kisah yang aku alami. Segala sesuatu yang berkesan pasti aku tulis lewat rentetan kata yang tidak jelas untuk di baca. Aku sengaja membuat tulisan-tulisan ku yang jelak, agar tidak ada orang yang tahu. Termasuk teman dan keluargaku sendiri. Hanya cukup aku yang bisa membacanya sendiri. Ungkapkan dengan kata-kata  yang hingga menjadi sebuah cerita. 

Bagian satu

Di bagian lembar pertama terdapat enam paragraf yang semua isinya adalah tentang kerinduanku terhadap seorang ayah. Aku menuliskan tentang sosok ayah yang seharusnya ada di rumah ini sebagai pelindung keluarga. Tetapi ternyata takdir telah berkendak lain. Ayah telah pergi meninggal sejak aku masih kecil. 

Aku masih ingat sekali, detik-detik di saat ibu sedang menangis histeris sekuat tenaga. Ibu seperti belum ikhlas, jika ayah pergi di saat itu juga. Sementara aku yang saat itu masih belum tahu akan maksud semuanya. Aku hanya bisa diam dan akhirnya ikut menangis juga di pangkuan ibu.

Sekarang ini, terkadang aku merasa iri dengan teman-teman ku yang lain. Dimana mereka di usia yang sama seperti ku masih tinggal bersama dengan seorang ayah. Mereka berbagai kasih penuh cinta dengan ayah dan ibu. Sedangkan aku..?

Tentang ayah, aku hanya bisa mendengar cerita dari Nenek. Ketika aku merindukan ayah, aku hanya bisa berdoa dan memandang foto lama yang menempel di buku nikah bersama dengan ibu. 

Beberapa cerita tentang kerinduanku dengan ayah,  masih banyak yang aku tulis di buku tebal itu. Setiap kegelisahan pasti  aku utarakan lewat tulisan yang memanjang membentuk kalimat. Dalam hatiku, aku berdoa untuk ayah di sana. Doa yang terbaik dari seorang anak.

“Ayah..! kini usiku sudah menginjak belasan tahun dan aku sekarang sudah di bangku Sekolah Semengah Pertama (SMP).” Maafkan aku ayah, jika dulu aku pernah berbuat nakal atas kelakuanku. Mungkin waktu itu, saat aku masih belum tahu apa-apa. 

“Ayyyyah..! ………?

Tak sanggup lagi aku berucap. Mulutku bergeming, suaraku pelan merintih bersama dengan  dadaku yang sedikit mulai sesak. Betapa beratnya aku merindukan sosok ayah yang telah pergi meninggalkanku untuk selamanya.

Next..!! Bagian Dua

Lalu di halaman kedua, terdapat gambar pada bagian tengah. Gambar tersebut adalah sebuah rumah yang sengaja aku buat meski tidak sama persis dengan bentuk aslinya. Rumah yang aku gambar merupakan rumah ku sendiri yang aku tempati sejak kecil hingga sekarang ini bentuknya masih sama. 

Aku dibersarkan di rumah ini dengan kesederhanaan bersama dengan ibu dan ketiga saudaraku. Rumah inilah yang menjadi pelindung dari panas dan hujan.  bagi kelaurgaku setiap hari. Di saat panas dan hujan, siang dan malam.   hitam membentuk sebuah rumah. Iya..! ini adalah rumahku. 

Di bagian gambar rumah pada pada buku tersebut terdapat dua paragrah yang bertuliskan tentang masa kecilku. Aktivitas keseharianku yang membantu ibu di rumah. Aku menulikan tentang jadwal setiap hari saat menjelang petang dan pagi hari sebelum berangkat sekolah. 

Seperti kalau waktu sore tugasku adalah memberi pakan ternak ayam, menutup jendela rumah dan menghidupkan lampu ublik. Sementara di saat pagi sebelum berangkat sekolah tugasku adalah mengeluarkan sapi dari kandang dan membuka pintu kandang ayam. 

Setiap hari tugas ini sudah menjadi bagian dari kewajibanku. Jika aku sampai lupa tidak menjalankan apa yang menjadi tugasku di rumah, maka tak segan ibu akan marah. Sebenarnya bukan hanya itu saja, di siang hari saat pulang sekolah aku juga mengembalakan sapi bersama dengan teman yang lain. 

Next..! Bagian Tiga

Di bagian lembar berikutnya aku menuliskan tentang cerita saat aku mulai nakal. Di usiaku yang masih kecil aku susah sekali belajar. Aku masih ingat saat aku diajari oleh kakak untuk belajar membaca dan menghitung angka. Huruf demi huruf aku eja, dan aku tuliskan di buku itu dengan potongan pensil. Bukan pensil baru ukuran panjang, melainkan pensil berukuran pendek yang bagian ujungnya aku lilitkan karet guna untuk menghapus apabila aku salah dalam menulis.

Kakakku adalah sosok yang baik, tanggung jawab dan penyabar. Tidak pernah bosan ia menemaniku untuk belajar. Meski sebenarnya aku paling malas untuk belajar, karena bagiku sangat membosankan dan susah untuk di mengerti.

Pernah saat itu aku dibentak dengan suara yang keras apabila aku melakukan kesalahan saat menulis huruf. Telinga kanan kiriku tak luput dari sentilan olehnya. Hingga membuat telengaku sampai memerah. Sebenarnya yang di lakukan agar aku bisa lebih serius lagi untuk belajar. Tetapi bukannya aku jadi lebih serius, justru membuatku menangis terisak. 


Next..! Bagian Empat