Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Haruskah Aku Mengeluh

Haruskah aku mengeluh
Gambar by @Google

Menjadi seorang mahasiswa tidaklah mudah, terlebih harus berjuang dengan sungguh-sungguh dan semangat belajar yang tinggi. Agar apa yang diperjuangkan sebagai seorang mahasiswa dapat terwujud sesuai dengan yang di harapkan. 

Apalagi sebagai mahasiswa baru di semester awal yang wajib mengikuti setiap jadwal mata kuliah. Selama menjadi mahasiswa inilah pengorbAnan tentang waktu dan tenaga ditaruhkan tanpa rasa leash. Seperti yang dialami oleh seorang gadis bernama Ana. 

Ya mahasiswa baru jurusan Analisis Kesehatan di salah satu Kampus di daerah Bandung. Ia sebagai mahasiswa bukan karena semata-mata menjalani  tuntutan kampus, tetapi memang ia ingin menjadi seorang Ahli Kesehatan yang ia inginkan sejak kecil. 

Terlebih dari hal itu,  ia ingin membanggakan kedua orang tua yang telah melahirkan dan membesarkan hingga sampai sekarang ini.

Ana ingin meraih cita-cita yang nyata, bukan hanya sekedar cerita lewat mimpi dimalam hari. Tapi ini tak mudah ia jalani, tak mudah seperti istilah membalikkan sebuah tangan. Tentu harus dilakukan dengan usaha dan kerja keras tanpa merasa lelah. 

Memasuki semester ke tiga, akhir-akhir ini Ana disibukkan dengan tugas-tugas kuliah dan praktek.  Setiap hari harus berhadapan dengan buku dan pena, baik di kampus maupun di tempat asrama. 

Buku dan pena Ana anggap sebagai teman setia yang selalu ia bawa  dimAnapun berada. Tak ada yang lain, selain  barang keperluan kuliah. Sedangkan dari teman yang lain yang mereka bawa adalah perlengkapan perlengkapan kecantikan seperti bedak, lipstick dan parfum. 

Kebanyakan dari mereka ketika dikampus lebih  mengutamakan penampilan berdandan dari pada harus belajar materi perkuliahan. Inilah yang membuat Ana terkadang kurang percaya diri, karena sering kali dikatakan sebagai perempuan kampus yang dekil dan bau.

Setiap hari Ana selalu selalu mengikuti jam belajar mata kuliah yang di sampaikan dosen. Ana terus menulis atau mencatat sesuatu yang penting dan di jadikan sebagai jurnal belajar belajar di hari berikutnya. 

Apa lagi ketika di ruangan lap praktik, dia masih menulis  diatas kertas yang selalu dibawanya. Mencatat hasil penelitian dan obserbavasi di ruang dikampus memberikannya mudah dalam memahami materi perkuliahan. 

Berada di ruang lap praktik membuatnya senang dan gembira karena lebih menyenangkan. Pandangan mata tak pernah lelah menatap tajam kearah alat-alat medis tempat dimAna dia mempraktekkan hasil penelitiannya.

 Mikroskop, thermometer digital, timbangan badan digital, buku istihara, bak instrument sedang, infuse, kop angin, doplerr dan alat medis yang lain. Baginya sudah tak asing lagi dia lihat. Alat-alat medis inilah yang setiap hari dia gunakan disaat uji praktek. 

Sudah tidak dihiraukan lagi rasa capek dan lelah dia rasakan ketika waktu pulang menjelang tiba Ana masih sibuk dengan tugas-tugasnya. Ketika itu jam mata kuliah praktek klinik hanya 4 jam lamanya, tapi Ana masih tetap dibuat sibuk dengan aktivitas menulis diatas kertas. 

Sepulang dari kampus, bukan rasa senang yang dia bawa, justru capek, lelah, bosen, pusing, membuatnya harus tidur sejenak sekedar memulihkan tenaga dan pikiran. Saat itu Ana, tinggal sendiri di kosan yang tak jauh dari kampusnya. 

Terhitung sudah dua kali dia pindah kos, dan di sinilah tempat mencari suasAna baru. Saat itu, mata Ana berkaca-kaca saat memandang langit-langit kamar. Direbahkan tubuhnya yang kecil diatas tempat tidur. Seluruh tubuh terkulai lemas, ditariknya pelan bantal guling warna biru, lalu diletakkannya diatas kepala. 

Tak ada suara yang keluar dari mulutnya yang terlihat kusam, tak mampu lagi dia berbicara. Terasa lelah hari ini setelah mengikuti mata kuliah Kimia Analitik dan Kimia Klinik cukup membuat pikiran dan tenaga terkuras habis. 

Disaat itu juga tubuhnya sudah merasa mulai rileks, tetapi pikiran masih tak tenang. Masih terus  terlintas akan materi-materi kuliah yang dia ikuti saat belajar di kampus.

Sejenak mata malui terpejam saat angin berhembus pelan dari arah jendela kaca,  hal ini membuatnya cukup sedikit nyaman. Hempasan angin tersebut berhembus terasa menyegarkan disekeliling ruang, layaknya seperti di ruang kamar ber AC. 

Kedua bola mata mulai terpejam tapi tak bisa membuatnya terlelap. Antara sadar dan tidak, pikiran dan ilusi melekat pekat dalam bayang bayang. Hatinya ingin berkata, tapi kelu hati lara tak ada respon untuk diucapkan “Haruskah Aku Mengeluh” kata-kata ini yang masih melekat dalam pikiran Ana. 

Saat tubuh tak dapat lagi bergerak, mata semakin lelah, tangan dan kaki tak bisa bergerak dengan bebas. Pikirannya  melayang jauh, membayangkan di kala dia waktu semester satu harus tinggal di asrama kampus.

Selama tinggal di asrama kampus satu tahun lamanya Ana jalani penuh dengan cerita dan derita. Ketika itu dia harus mempertahankan perasaan dan harkatnya sebagai manusia yang mulai mengenal dunia sosial.

Menjelang sore tiba aktivitas belajar dikampus semakin sepi, sedikit demi sedikit mahasiswa mulai pergi keluar meninggalkan area kampus. Mereka pulang menuju tempat kos atau kontrakan dimAna mereka tinggal. Tapi tidak dengan mahasiswa semester satu, yang diwajibkan tinggal selama dua semester berada diasrama kampus. 

Matahari kian hilang dari pandangan mata, bersembunyi dibalik gedung-gedung tinggi nan besar. Hanya sisa-sisa pancaran sinar yang masih nampak jelas dari pantulan dinding kaca penghias ruang kampus.

Setengah berlari Ana berjalan lebih cepat lagi, turun dari tangga satu ketangga berikutnya. Sudah tak terhitung jumlah tangga yang dia lewati. Suara bunyi sepatu pantopel putih yang dia pakai dipaksanya berlari, menuruni tangga. 

Sehingga menimbulkan bunyi “tok,,tok,,tok,,,” Tak karuan  kian memburu.  Ana berjalan bukan selayaknya artis model yang berjalan lenggak-lenggok penuh pesona dihadapan orang banyak. Dia hanya tidak mau terlambat dikala waktu makan para mahasiswa tiba.

            “Pokoknya sebelum waktu makan tiba aku harus sudah selesai beres-beres
  asrama,”
            “Aku gak mau kena caci maki lagi oleh kakak tingkatku”. Gumamnya dalam
              hati.

Seiring dengan berjalannya waktu, setibanya Ana dipintu gerbang terdengar jeritan seorang gadis dengan nada sentak memanggil Ana. Dia tak lain adalah Wati kakak tingkat yang terkenal judes dan sombong. 

Di ambang pintu dimAna kak Wati tengah berdiri tegak, selayak bos atau tuan nyonya besar. Tubuhnya yang besar tak sanggup untuk berdiri tegap dengan sempurna.  Selintas dilihatnya tubuh kak Wati bersender ditembok menentengkan kedua tanggannya, badannya yang gemuk membuat Ana tak berani menatap lebih lama.

“Hey, kamu!!!! Cepat kesini!! Panggil kak Wati memaksa.

Ana pun mulai mempercepat langkah kakinya berjalan menuju orang yang telah memanggilnya. Di pandangi muka Ana dengan tajam, seraut wajah yang terlihat begitu kejam dan bengis mulai nampak dari sudut muka kak Wati. Tak sanggup Ana membalas tatapan mata kak Wati, dia seakan pasrah dengan keadaan yang akan diterima.

“Iya, kak, ada apa!!” sahut Ana pelan seiring dengan nafasnya yang sengal.
“Sebenarnya kamu tau gak, kalau hari ini jadwal kamu beres-beres asrama sekaligus nyiapin makan sore nanti, ini sudah waktunya!!” Lihat nih uda jam berapa!!.

Diulurkan tangan kak Wati ke muka Ana, memaksa Ana untuk melihat jam tangan yang sudah menunjukkan pukul 16.30.
“Maaf kak!!, Tadi ada mata kuliah praktik. Ana mencoba untuk menjelaskan yang sebenarnya.
“Oh,..!! sudah mulai bisa berasalan ya”!! Memang kalau ada mata kuliah praktik waktunya sampai jam sore gini.  Saya juga pernah mengikuti mata kuliah itu, tapi gak pernah nyampek jam segini baru pulang. Pasti kamu kelayaban dulu kan!!

Kak wati bersi keras menentang alasan Ana, dia tak tau kalau semester satu jam praktik sudah berubah, tidak seperti semester sebelumnya.
“Uda sekarang kamu cepat masuk dan beresin asrama ini, pokoknya saya gak mau tau sebelum waktu maghrib tiba semua harus sudah selesai”.
“Mulai sekarang kamu jangan sok manja atau malas-malasan, emangnya ini asrama nenek kamu ya!!! Celoteh kak Wati sambil menatap muka Ana, yang saat itu sedang merunduk.
“Kamu mikir dikit kenapa, Hey Anak baru!!!
“Udah, dibilangin dari kemarin masih aja belum berubah.
“Jangan buat aku tambah marah ya!! Coba ni lihat, banyak sepatu dan sandal berserakan diambang pintu cepat kamu beresin sampai rapi.
“Denger gak kamu…!!”  Tangan kak wati menunjuk-nunjuk ke arah muka Ana.

Mendengar kata-kata yang keluar, justru membuat Ana semakin tau apa yang harus dia lakukan saat itu. Secepatnya Ana laksAnakan perintah kak wati, biarpun hati sedih, mata menangis, tapi dia tak bisa berbuat apa-apa. Junior tetep junior, Ana mahasiswa baru yang harus menuruti segala perintah dari senior, biarpun hati Ana seakan sakit dan menentang akan dia hadapi dengan tegar dan ikhlas.

“Iya kak, aku ngerti”  Balas Ana pelan.

 Sekarang tangan Ana meraba-raba ke lantai seakan mencari benda yang hilang. Dia pungut satu persatu, sepatu sandal yang berserakan tepat didepan pintu. Lalu disusunnya dengan rapi dalam rak yang sudah disediakan. 

Tak ada yang tertukar atau berbeda pasangan, semua sudah tersusun dengan rapi. Ketika Ana masih berjongkok, Ana mencoba untuk  memandang keatas melihat masih adakah sosok gadis judes nan angkuh berdiri mengamatinya.

“Kamu lihat apa, haa…”
 “Gak terima dengan perintahku!!”
“Cepet kamu beresin itu!!!
“Dasar pemalas.” Ucap kak Wati yang saat itu masih memahami Ana.
“Iya kak,.” Jawab Ana lebih singkat.

Setelah selesai merapikan sepatu, Ana berdiri di dekat pintu. Dipeluknya beberapa buku cetak dengan erat. Kepalanya masih merunduk memandang kebawah, menatap sepatu pantopel putih yang dia pakai. 

Saat itu, bukan tetesan air mata yang jatuh, melainkan keringat yang mulai keluar dari raut mukanya. Dengan sigap kak Wati masih berdiri tepat dihadapan Ana, seketika dipukulnya tembok sesekali sebagai pelambiasan amarahnya kepada Ana.

Jeddarrrr…..!!! kedengeranya begitu keras dan mengagetkan hati Ana.

Ana masih terdiam membisu, tak berani dia menjawab perlakuan dari kak Wati saat itu. Tanpa henti Ana masih di introgasi dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat mata Ana mulai menangis. Dia merasa sedih atas perlakuan kak Wati yang tidak punya perasaan. 

Isak tangis terdengar kecil, sontak merespon ke urat-urat nadi dalam tubuh. Sikap Ana membuat kak Wati semakin geram. Dipegangnya dagu Ana keatas, memandang dua bola mata yang mulai basah.

“Haeyyy,,, Anak baru, kamu jangan cengeng”!!
“Gak usah menangis didepanku.
Kamu kira aku akan kasihan melihatmu menangis. Kamu mau menangis yang keraspun, aku gak akan merasa kasihan sama kamu!! Kalau kamu menangis terus malah justru membuatku semakin benci memandangmu.
“Dasar kamu pembawa sial!! Ucap kak Wati kepada Ana yang saat itu reflek tangan kak Wati yang begitu besar menjoglo kepala Ana kebelakang, sehingga terbenturlah kepala Ana di tembok.
“Kalau kamu mau mAnangis, teruslah mengangis yang keras.
“Kamu itu, seperti Anak kecil kemarin sore, dikit-dikit nangis.”

Ana semakin tak kuasa menahan isak tangisnya. Betul-betul menusuk hati, perkataan kak wati, keji dan tidak punya perasaan. Hati Ana semakin sakit serasa tersayat silet yang tajam. Keadaan inilah yang membuat hati Ana memberontak untuk melawan, tapi apalah daya karena memang Ana masih mahasiswa baru, dan aturannya pun harus di patuhi. 

Setelah selesai kak Wati memahari Ana, dengan sikapnya yang sombong kak Wati pergi meninggalkan Ana seorang diri di ambang pintu.
Seiring langkah kaki kak Wati yang  kian menjauh terdengar sayup-sayup suara nyanyian yang begitu jelas didengar Ana.

 “Sakitnya tuh di sini, didalam hatiku-sakitnya tuh disini didalam jiwaku”.
Berpalinglah muka Ana, mencari sumber suara itu. Ana melihat sosok gadis dibalik kaca hitam tepat Ana berdiri. Dia adalah Lisa, gadis yang menyanyikan lagu yang sedang hits saat itu. Lisa adalah gadis satu angkatan dengan Ana. Selama tinggal di asrama Lisa sering kali mengejek kepada teman-temanya termasuk Ana.

Mendengar suara nyanyian yang sedang hits di era sekarang ini tak membuat Ana gentar, meskipun kedengarannya amat menggetirkan hati. Sudah tak dihiraukan lagi, Ana masuk ke kamar, ditelakkannya tas dan buku cetak diatas tempat tidur. 

Ana berjalan menuju lemari kayu berbingkai kaca. Menatap diri, melihat dirinya dihadapan lemari kaca penuh dengan muka sembab. Antara takut dan sedih yang dia rasakan saat ini membuat pikirannya melayang jauh tak karuan. Ingin rasanya dia lari dari kehidupan ini yang seakan menyiksa.
            Mengapa harus Ana rasakan penderitaan ini, disaat tak ada orang yang mengerti akan keadaannya sekarang. Dalam hati Ana, seakan bertanya-tanya sendiri didepan kaca.

“Apa  salah diriku, mengapa mereka  membenciku.
“Oh…. Tuhan, Teramat pahit cobaan ini aku jalani disaat aku harus sendiri.”
 Tanpa Ana sadari, muka yang sembab membuat air mata mengalir menetes membasahi pipi. Matanya kian membengkak, sesekali dia kedipkan seiring degan isak tangisnya. Air yang keluar dari mata tanpa dia sadari, seakan tau akan keadaaan dan kesedihan yang sedang dirasakan.

“DimAna teman baikku, dimAna keluarga ku…”!! semua orang yang aku kenal disini selalu membenciku.
“Oh, tuhan!! Jika keadaan ini aku rasakan sendiri, kuatkanlah hatiku, berilah kesabaran dan ke ikhlasan untuk untuk menjalani ini semua.
Sebentar lagi waktu makan pun tiba, Ana berusaha mencari bu Yuni. Bu Yuni adalah seorang juru masak yang paling baik Ana kenal selama tinggal di asrama. Bu Yuni sudah di anggapnya ibu kandung oleh Ana. 

Setiap hari Ana selalu bercerita banyak hal kepada bu Yuni. Sikap bu Yuni yang begitu baik, membuat Ana seakan ada dorongan yang timbul dari hati untuk tetap semangat dalam menjalani hidup. Tak tahu jadinya kalau di asrama ini tidak ada bu Yuni, mungkin Ana akan pergi meninggalkan kampus dan tidak akan melanjutkan kuliahnya lagi.

Pekerjaan sebagai juru masak diasrama sudah bu Yuni lakoni hampir sepuluh tahun lamanya. Sudah tak ada lagi rasa canggung atau malu Ana ungkapkan kepada bu Yuni. Malam itu, seluruh mahasiswa yang tinggal di asrama sedang asyik bersanda gurau dengan temen yang lain. 

Ada yang duduk di kursi sedang berfoto-foto,  ada juga yang sedang sibuk dengan leptopnya sendiri, bukan tugas kuliah yang sedang mereka kerjakan. Melainkan sedang asyik fban ber-update status atau uploud foto. Disaaat itu, Ana keluar dari kamar berjalan menyusuri teras asrama. Diliriknya mereka yang sedang asyik berkumpul membuat Ana sedikit males untuk menyapa. 

Bukan berarti Ana merasa sombong sendiri atau merasa tak kenal kepada mereka. Tapi Ana merasa malu, dan takut  ketika bertemu dengan mereka disaat ramai. Sudah terlalu besar beban penderitaan yang Ana rasakan tidak sama seperti mereka yang asyik sibuk sendiri. Padahal mereka statusnya sama yaitu sebagai mahasiswa kesehatan satu kampus satu asrama. 

Perasaan ini dengan cepat Ana buang sejauh mungkin, biarlah keadaan ini yang membuat Ana semakin tabah akan cobaan yang sedang dihadapinya.

Tak lama kemudian alaram pun berbunyi dua kali, pertanda waktu makan malam sudah tiba. Semua mahasiswa yang tinggal di asrama sudah mulai meninggalkan kamar dan tempat yang sedang mereka duduki. Di tujunya ruang aula tempat biasa untuk makan. 

Hidangan sudah siap untuk disantap, semua makAnan sudah tersaji dalam meja besar. Berbagai macam makAnan sudah tersaji dengan rapi selayak restoran besar. Sayur asam, tumis kacang, dan ikan laut sudah ada diatas meja. 

Aromanya terasa menyengat, membuat semua mahasiswa yang masuk saling berdesakan di depan pintu. Ana masih berdiri diantara meja besar sambil menyuguhkan piring dan sendok kepada mahasiswa yang akan menikmati makan malam. Riuh suara yang keluar membuat keadaan menjadi ramai tak karuan seperti kumpulan ayam yang sedang diberi makan.

Sudah biasa Ana menyaksikan hal seperti ini dikala waktu makan tiba. Tak dapat yang dia lakukan untuk menghalang-halangi atau mengatur mereka. Mereka saling mendahului mencari posisi barisan paling depan. Tak lama kemudian terdengar seruan kak Wati dari sudut belakang memanggil, seakan memberikan isyarat. Berjalan mendekati bersama Lisa dibelakangnya.

“Minggir semua”!!
“Kalian ini seperti binatang ya, cuma mau makan aja pake rebutan segala”. Celoteh kak Wati Tegas di sela-sela memasuki barisan para mahasiswa yang sedang mengantri. Mendengar perkataan dari kak wati membuat Ana sedikit segan, ternyata dari sekian banyak mahasiswa yang ada di ruang aula tak ada yang berani melawan omongan kak Wati. 

Semua mahasiswa terdiam tak ada suara yang keluar untuk ambil bicara. Jika yang mengatur ketua asrama putri pasti akan nurut dan patuh. Ana tertegun menyaksikan apa yang dikatakan oleh kak Wati, seperti ada kebijakan tegas mengatur semua ini. 

Padahal bukan kali ini saja kak Wati terlihat marah. Tidak seperti hari-hari biasanya, yang selalu marah sesuka hatinya. Apa yang dia lihat tidak begitu sreg dengan hatinya, pasti dia akan marah besar dan mencemoohkan langsung tanpa memandang perasaan. Seperti peristiwa yang terjadi pada beberapa hari yang lalu, saat itu tak ada jam kuliah untuk ke kampus.

Hari-hari libur kuliah Ana gunakan untuk membersihkan kamar mandi. Tak dapat dia lupakan begitu saja, terasa batin semakin tersiksa dalam hati. Di ambang pintu kamar mandi sudah Ana bersihkan, begitu juga dengan bak mandi. Tak ada satu pun lumut yang masih menempel di dinding bak. Dua jam lebih Ana berada dalam kamar mandi. 

Satu per satu dia mulai mengosok-gosok bagian dinding bak mandi dengan sikat kawat. Setelah itu dia siram dengan air yang sudah tercampur dengan diterjen agar kuman dan bibit lumut pada rontok dan tidak berkembang biak lagi. Tangan Ana mulai mengkriput, di jari tangganya sudah terlihat putih membeku.

Di saat Ana akan keluar dari pintu kamar mandi, dia dikagetkan dengan tubuh kak Wati yang tengah beridiri tegak menatapnya. 

“Kak….kak.. Wati”. Mulut Ana terbata mengucapkan kata itu pelan.
“Hey, kamu Ana! Ngapain kamu dikamar mandi dua jam lebih! Hah…!!!
“Saya lagi bersihin bak mandi kak” Sepertinya sudah kotor, makanya saya bersihin! Jawab Ana sedikit menjelaskan kepada kak Wati yang belum tau sebenarnya.
“Oh… baguslah kalau begitu, kamu memang Anak yang tau diri akan kebersihan” Jawab kak wati tegas!! Seiring dengan langkah kaki memasuki kamar mandi. Tanpa melihat keadaan didalam, kak Wati mulai melepas baju yang dia kenakan, dengan lihainya dia sambil bernyanyi-nyanyi. Ana pun mulai membereskan alat yang dia gunakan seperti, pel, satu lidi, dan ember yang masih berserakan dilantai. Namun selang beberapa menit kemudian saat itu juga terdengar jeritan kak Wati begitu keras membuat gendang telinga Ana seakan mau pecah.
“Annaaaaaaa…..!!!!” Awwwhh…… ” 

Seketika pintu dibuka langsung oleh Ana, karena khawatir akan terjadi apa-apa pada kak Wati. Tapi, begitu Ana masuk disambutnya dengan kata-kata cacian.
“Ana, kamu kalau kerja yang benar kenapa”, Coba lihat air dibak mandi jadi keruh. Bukannya bersih malah jadi tambah kotor. Kamu kalau kerja itu yang bener. BagaimAna aku mau mandi kalau airnya kotor seperti ini.

“Oh… tidak dengan air seperti ini. Omelan kak Wati terus bergulir tanpa henti, semakin kesal dengan keadaan ini, reflek tangan kak Wati mendorong tubuh Ana kebelakang. Ana pun terjatuh, dan tersungkur kelantai, tak dapat Ana berkata atau melawan.

Hanya diam yang dilakukan. Tapi, saat kak Wati melangkah mundur, kakinya tanpa sengaja menginjak sikat kawat yang masih tergeletak dilantai. Kak Wati pun langsung menjerit histeris, merasakan kesakitan yang begitu dahsyat dia rasakan.

“Aduhhhhhh…..!!!! Sakit..!!!!!. Ucapan kak Wati pelan menahan sakit.
“Kamu sengaja mau mempermainkan saya ya”
“Hah!!! Sengaja mau menjebak saya dengan sikat ini!!!
“Apa kamu memang mau balas dendam dengan saya!!

 Terlihat kaki kak Wati mulai mengeluarkan darah segar dari ujung telapaknya. Terasa amat nyeri kak Wati rasakan,  lalu diurutnya pelan sambil menahan sakit.  Kak Wati berjalan melangkah keluar dengan kaki menjinjit. 

Sedangkan Ana masih terdiam, disudut kamar mandi, dengan badan setengah kuyup dia merangkak mengambil sikat kawat yang mengenai kaki kak Wati. Dibersihkanya lagi bak mandi dengan air diterjen agar tidak menimbulkan bau. Tak terasa air mata menetes berjatuhan diantara kedua mata Ana. Mengalir membasahi pipi berjatuhan kedalam air. Amat sedih dia rasakan, seolah-olah pekerjaan yang dia lakukan tidak pernah benar dan selalu salah di mata orang. Entah apa yang harus dia lakukan saat ini agar orang-orang tidak membencinya.

Sudah tiga jam lebih Ana berada dalam kamar mandi, bukan untuk mengurung diri. Tapi masih merasa belum puas kalau yang dia kerjakan belum bersih dimata teman-temanya. Dia takut kalau nanti akan ada orang yang akan marah lagi. Padahal baju yang dia kenakan sudah basah kuyup, kaki dan tangan sudah semakin terlihat memutih dan mengkriput. Badannya sudah mulai menggigil, karena di tempat itu terasa dingin sekali.

Pagi yang cerah cahaya mentari yang bersinar begitu indah, tapi tidak dengan hati Ana yang selalu diliputi dengan awan yang mendung. Saat itu Ana berangkat kuliah menuju ke kampus. Langkah jejak kakinya berjalan ngejar bayang-bayang pancaran mentari. Jernih butiran embun masih menempel pekat didedaunan taman bunga yang terlihat masih basah. 

Angin yang berhembus pelan membuat petugas taman kualahan menyapu duan-daun yang mulai berjatuhan. Saat itu Ana berangkat lebih awal, tak mau dia terlambat untuk masuk kelas. Karena dia benci dengan bell masuk, jika masih berada di asrama. Lebih baik menunggu daripada harus terburu-buru saat akan mengikuti mata kuliah. 

Ana duduk dikursi paling depan, dia mulai membuka lembaran buku yang berisi materi mata kuliah pagi itu. Tak lama kemudian bellpun berbunyi, pertanda waktu jam kuliah pagi akan dimulai. Satu demi satu mahasiswa berseragam putih sudah mulai memasuki ruang kelas.

“Hay, semua!!! Selamat pagi kawan!! Terdengar suara yang tak asing lagi bagi telinga Ana terdengar begitu lebay.

Tentu lisa!! Senyum manisnya yang selalu dia umbarkan kepada ke semua orang. Lisa yang begitu centil sifatnya membuat orang lain semakin terpesona jika diajak bicara. Lisa berdiri tegak memandang para mahasiswa yang ada diruang kelas. Pandangannya seakan mencari sesuatu ditempat itu. 

Memang ini sudah menjadi kebiasan Lisa masuk paling akhir, dan tak heran jika Lisa tidak pernah kebagian tempat duduk. Dengan gayanya yang begitu offer, untuk mencari perhatian seseorang. Lisa memandang seorang gadis yang duduk di kursi paling depan, yang tak lain adalah Ana. 

Tanpa pikir panjang tangan lisa mengambil buku yang sedang Ana baca di pandangnya sebentar lalu buku itu di jatuhkan ke lantai. Ana pun terdiam, tanpa melawan. Sudah biasa kelakuan ini Ana alami di asrama putri. Tanpa memandang muka Lisa, diambilnya buku itu yang terjatuh. 

Saat seperti itu seketika Lisa langsung menduduki kursi yang sebelumnya Ana duduki.

“Lisa, kenapa kau duduki kursi ini. Bukankah aku yang berangkat lebih duluan. Seharusnya kamu cari kursi yang lain”!! Tanya Ana dengan nada sedikit sebel.
“Hey, Ana.. !! Apa yang saya lakukan itu terserah saya donk!! Aku mau duduk di kursi siapa saja itu bukan urusanku. Bukan kah begitu teman-teman? Sontak semua mahasiswa yang ada diruang kelas menyoraki dengan kalimat keras.
“Huuuu….!!!!!!”

Ana pun hanya diam, sudah tak mau lagi dia berkomentar yang ujung-ujungya pasti akan dilaporkan sama kak Wati. Padahal waktu itu jam mata kuliah akan segera dimulai, Ana berdiri lalu melangkah keluar meninggalkan ruang kelas. 

Dia berharap sebelum dosen masuk, dia sudah mendapatkan kursi. Karena Ana tidak ingin meningglakan mata kuliah pagi itu. Tapi sayang sekali, apa yang di harapkan Ana justru diluar dugaan. Ternyata selang beberapa menit, dosen pun sudah masuk kelas sedangkan Ana masih sibuk mencari kursi di ruang kelas lain. 

Sampai akhirnya, jam belajar sudah berjalan setengah pelajaran Ana masih belum juga  mendapatkan kursi yang dia cari. Ana sedikit kecewa dan putus asa, usahanya ternyata sia-sia. Akhirnya agar tidak ketinggalan materi mata kuliah, Ana berdiri di luar kelas. Mengintip lewat jendela kaca. Setiap pembicaran dari dosen Ana pahami dengan serius. 

Rasa jengkel kepada Lisa sudah dia hilangkan begitu saja. Yang penting Ana masih bisa belajar untuk mengikuti mata kuliah itu meskipun sambil berdiri.
Tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki berjalan mendekati Ana yang masih berdiri di belakang kaca.

“Dasar Anak badung, belajar diluar kelas. Ngintip lagi!! Pasti kamu kena hukum kan??” Tanya kak wati yang kebetulan lewat di depan ruang kelas itu.
“Makannya kamu disini jangan jadi mahasiswa yang sok. Ucap kak Wati lantang, seraya meninggalkan Ana yang masih berdiri terdiam.

Berulang kali celoteh kak wati terlontar dari mulutnya. Tapi tak membuat konsentrasi belajar Ana goyah. Sudah biasa cacian seperti ini Ana dengar, sudah biasa Ana diperlakukan kasar oleh kak Wati. Semua ini Ana lakukan bukan semata-mata untuk mencari masalah dengan orang lain, tapi tujuan dia hanya untuk belajar dan belajar mencari ilmu. 

Biarpun banyak orang yang mencemoohkan dirinya berulang kali. Tapi tak membuat diri Ana berubah untuk  melawan, apalagi pindah kekampus lain. Semua sudah menjadi pilihan dan tanggung jawab ini Ana dijalani. 
Tak lama kemudian Ana dikagetkan dengan pukulan dipundaknya.

“Ana, kau kenapa? Tanya bu Yuni pelan.
“Dari tadi kok diem aja!” Lanjut bu Yuni penasaran dengan sikap Ana yang terlihat seperti patung.
“Enggak Bu”!!, Ana gak kenapa-napa.

“Ana cuma kagum aja melihat kebijaksanaan kak Wati, begitu adil mengatur mahasiswa dalam keadaan seperti ini. Rasanya aku tak bisa membayangkan, jika posisi aku seperti kak Wati. Aku tak sanggup mengatur mahasiswa sebanyak ini. Ana mencoba kepada bu Yuni.

“Yah!! Wajar aja Ana. Sebagai ketua memang harus begitu, harus bisa mengatur banyak orang. Tapi kalau saya lihat Wati itu orangnya terlalu, setegas apapun dia, kalau karakternya aja sombong dan angkuh tentunya banyak orang yang tidak menyuakai kepribadiannya. 

Ibu juga sedikit sebel dengan kelakuan Wati, sebelum kamu tinggal di asrama ini ibu sudah mengenalnya lebih duluan. Kalau selama ini dia menyuruhmu dengan kata-kata yang kasar dan menyakitkan, harap kamu yang sabar ya. Ibu percaya, suatu saat nanti semua akan berubah dengan keindahan dan kamu akan merasakan kebahagian yang kamu impikan. 

Hidup itu memang harus kamu perjuangkan Ana, jangan pantang menyerah ataupun mudah mengeluh. Anggap saja ini adalah bagian dari cobaan yang harus kamu lalui.

“Iya, bu!!” Terimakasih atas nasehatnya! Ana mengerti!! Justru dengan keadaan seperti ini membuat Ana semakin tabah dan sabar. Ana semakin mengerti arti hidup yang sesungguhnya. Jauh dari saudara dan orang tua membuat Ana lebih belajar mandiri dan melatih kedewasaan Ana bu.

Mendengar penjelasan Ana, bu Yuni semakin terharu. Dipeluknya tubuh Ana pelan, Ana pun sebaliknya menyambut pelukan bu Yuni dengan hangat. Eratan-demi eratan membuat Ana semakin susah untuk bernafas. Seperti ada kegelisahan pada bu Yuni yang semakin bernafsu memeluk tubuh Ana.
“Ibu kenapa!! Tanya Ana Langsung!

 Dipandanginya mata bu Yuni yang saat itu meneteskan air mata, membuat isak tangisnya semakin keras. Air yang mengalir dari pipi Yuni membuat hati Ana semakin heran, apa yang ibu Yuni fikirkan. Kenapa ibu menangis, haruskah aku menghapus air mata bu Yuni.

Tanpa ragu lagi, tangan Ana mulai mengusap pipi Bu yuni, diusapnya pelan. Ana merasakan kesedihan yang Yuni alami.

“Bu,,!!! Kenapa tak ibu jawab pertanyaan ku bu!!
“Ada yang salah denganku bu, sehingga ibu harus menangis seperti ini!!”.  Berulang kali Ana bertanya, tapi bu Yuni masih tetap diam membisu. Lalu dilepaskan pelukan itu, di pandanginya dengan tajam mata bu Yuni dengan seribu harapan.
“Kau tak salah nak!! Jawab bu Yuni singkat!!
“Tak ada apa-apa, ibu hanya ingin menangis saja. Sudah lama ibu tidak menjatuhkan air mata ini”. Lanjut bu Yuni menjelaskan kepada Ana, agar kesediahnya tidak menjadi kecurigaan bagi Ana. 

Hanya jawaban itu yang diungkapkan oleh bu Yuni, senyum getir terlintas disetiap ucapannya.
            “Benar ibu gak kenapa-napa,!! Tanya Ana semakin heran.
“Iya, ibu gak pa-pa nak,” benar!!

Bu Yuni pun mencoba untuk tersenyum manis di depan Ana. Kebekuan hati, dan perjalAnan hidup bu Yuni membuat segalanya penuh dengan cobaan. Bu Yuni tak ingin mencertikan tentang hidupnya dulu, tentang kepergiannya dari kampung meninggalkan rumah dan keluarga untuk mencari pekerjaan dikota selama 10 tahun lamanya.

Mutiara hati yang bu Yuni rindukan sekarang ini adalah Anak sulungnya.  Bu Yuni teringat Anak perempuan yang dulu pernah dikandunginya selama sembilan bulan lamanya. Namun sejak Anaknya berumur 4 tahun, harus berpisah dengan ayahnya. 

Alasan perceraian membuat bu Yuni pergi dan meninggalkan Anaknya. Suami yang dia cintai telah berselingkuh dengan perempuan lain. Seorang ayah yang telah mengingkari janji suci sebuah pernikahan. Dalam hati bu Yuni masih di liputi dengan kenangan yang pernah dia alami sewaktu masih bersama dengan suaminya. 

Sedikit demi sedikit pertanyaan itu muncul dalam pikiran bu Yuni mengingat sosok suami dan Anak sulungnya dikampung halaman.

“Oh,, suamiku,” Aku Mungkin aku kurang begitu sempurna dihadapanmu, kurang begitu mengerti akan perhatian kepadamu”.

Mata bu Yuni semakin deras menjatuhkan air mata bagaikan air hujan jatuh tak kunjung reda. Bu yuni masih terdiam diri diantara meja-meja tempat makan para mahasiswa, Raut mukanya semakin sembab. Ingin rasanya Ana mengalihkan pikiran bu Yuni, agar tidak ikut bersedih. Tapi itu belum bisa Ana lakukan, Ana masih terdiam diri menunggu reaksi dari bu Yuni selanjutnya.

Sedangkan dalam pikiran bu Yuni masih teringat dengan Anaknya  dikampung yang seumuran dengan Ana. Ada sisa cahaya kerinduan yang mengetuk isi hati bu Yuni. Ke empat bola mata kini saling berpandangan meresapi akan kesedihan yang mereka rasakan. Tak bisa ditahan lagi, mata bu Yuni dan Ana akhirnya sama-sama menangis, berlinang air matanya mengalir dalam desiran hati.
Di tariknya nafas bu Yuni kuat, lalu dihempaskannya pelan. Bu Yuni masih terbayang terus dalam benak sosok Anak sulungnya itu, berbagai pertanyaan melawan pikiran dan hati bu Yuni saat memandang tubuh Ana.

“Oh Anakku, sedang apakah kau dirumah,”
“BagaimAna kabarmu sekarang,”
“Maafkan ibu nak! yang tak bisa menemanimu. Sebenarnya ibu sangat rindu kepadamu. 

Jika bukan karena perceraian, ibu tak akan meninggalkan mu dirumah. Ibu yang harus pergi, mungkin ini adalah jalan terbaik  untuk ibu dan kamu. Keadaan ini yang membuat ibu harus mencari kehidupan yang memang sangat menyiksa batin.

“Oh… Anakku!!!, Masih ingatkah kau dengan ibu nak!! Ibu yang mengandungmu, menjaga dan merawatmu. Saat kau menangis ibu tak ingin jauh darimu. Ibu tak ingin lepas saat menggendongmu. Tangismu membuat ibu semakin dekat ingin bersamamu terus nak.
“Oh… Anakku!! Mungkin memang Ibu yang salah nak.. bisakah kau maafkan ibu sekarang. 

Rasa sayang dan cinta yang ibu miliki hanya untukmu, Anakku. Dan perpisahan ini harus ibu lakukan karena terpaksa, kalau ibu tidak bercerai dengan ayahmu, mungkin kita masih bersama dalam suka nan duka. Ini mungkin sudah menjadi jalan takdir yang harus ibu alami. “Wahai Anakkku!!  

Meskipun ibu sangat merindukanmu saat ini, ibu belum berani  untuk bertemu denganmu,  ibu belum siap untuk menceritakan masalah ini kepadamu. Biarlah ini menjadi bagian dalam cerita ibu, dan ibu percaya suatu saat nanti kamu akan tau yang benenarnya.

            Dalam hati bu Yuni masih melekat akan sosok seorang gadis yang di kandungginya dulu. Tak pernah lepas pikiran bu Yuni akan Anaknya dikampung. Setiap hari saat bu Yuni bertemu dengan Ana, bu Yuni langsung teringat dengan Anaknya. Namun tak lama kemudian, Ana terus berusaha untuk mencoba mengalihkan pembicaraan untuk mengihur bu Yuni yang sepertinya sedang dilanda kesedihan begitu dalam. 

Dari awal Ana mencoba untuk bertanya alasan bu Yuni menangis, tapi tetap saja bu Yuni tak menjawab. Saat Ana mencoba untuk bertanya lagi, Justru yang keluar bukan suara, melainkan air mata yang terus terjatuh tanpa henti.
“Ana tak bisa berbuat apa-apa, kalau ibu terus menangis seperti ini!!” Ucap Ana yang kesekian kalinya kepada bu Yuni.
 “Ibu tak apa-apa Ana”. 
“Ibu, hanya ingin kamu selalu tabah dan sabar menjalani hidup ini. Ibu terharu dengan perjuangan dan pengorbAnanmu sekarang di asrama ini. Apa yang Ana alami di asrama ini, ibu pun juga bisa merasakannya.
“Oh,, ibu Yuni,. Terimakasih!!” Jawab Ana, langsung memeluk tubuh bu Yuni erat.
Kini satu persatu mahasiswa yang sedang menikmati santap makan malam sudah mulai meninggalakan ruang makan, termasuk kak Wati dan Lisa. Mereka pergi begitu saja, tanpa membereskan piring yang mereka gunakan. 

Dengan cekat Ana dan bu Yuni membereskan semua piring kotor yang ada dimeja. Di usapunya dengan lap, jika ada sisa nasi atau sambal yang berserakan dimeja. Ana menikmati pekerjaan ini sebagai tanggung jawabnya yang harus dia lakukan ketika waktu makan malam tiba. Sudah tak ada lagi beban yang Ana rasakan. 

Kata ikhlas dan sabar sudah melekat dalam hati Ana, apalagi dengan keberadaan bu Yuni di asrama yang selalu menyemangati hati Ana agar selalu tegar menjalani hidup.

Setiap malam setelah sholat Ana selalu berdoa kepada tuhan meminta ketabahan dan ketegaran hati. Doa adalah kekuatan bagi Ana yang tidak bisa Ana lupakan. Seiring dengan derai air mata yang selalu menemani disetiap ucapannya. Keluh kesah Ana utarakan kepada tuhan yang maha mengetahui segalanya. Kekuatan doa inilah yang membuat hati untuk tetap yakin dan percaya jika impiannya akan tercapai.

Tidak terasa saat itu Ana terbangun dari tidurnya, tanpa Ana sadari air mata mengalir membasahi pipi, masih terasa segar dia rasakan. Ternyata mimpi membuatnya menangis, menangis mengingat masa-masa waktu tinggal diasrama….”

“Terimakasih tuhan, engkau telah berikan hamba kekuatan dan ketabahan hati ini. Hamba merasa bersyukur atas nikmat yang engkau berikan. Disaat hamba sedang lemah akan ujian yang engkau berikan, engkau hadirkan sosok seorang ibu Yuni yang sangat berarti dalam hidup hamba. 

Sosok ibu  Yuni yang selalu membagikan cinta kasih sayangnya kepada hamba. Mengutkan hati hamba untuk selalu bersabar dalam menghadapi cobaan ini. Hamba ingin membalas semua ini dengan ucapan-ucapan doa untuk bu Yuni. Terimakah atas apa yang telah ibu berikan kepadaku, semua ini akan aku jadikan pegegangan dalam hidup ku sampai akhir nafas ini.