Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Keluarga Yang Tersakiti

Keluarga yang tersakiti
Gambar by Google

Desi tak pernah menyangka, akan perjalanan hidupnya yang begitu berat. Ternyata menjalani sebuah kehidupan tak semudah yang dibayangkan. Berbeda ketika ia melihat orang lain diluar sana yang ia pandang sebagai orang yang serba ada dan ter cukupi kebutuhannya.  
"Beruntung sekali mereka, tidak seperti aku sekarang ini.”

Menyikapi tentang beratnya beban hidup, ia bertekad untuk tetap tegar menjalani pahit getir nya kehidupan. Ia ingin beban berat hidup yang ia jalani akan cepat hilang dan digantikan dengan sebuah keindahan yang sempurna.

Sama dengan orang lain diluar sana, yang selalu ia lihat akan kehidupan sosial serba ter cukupi. Tapi sepertinya tak mudah, tak semudah itu! Lalu ia mencoba diam, berfikir tentang bagaimana membangun sebuah kehidupan yang dia anggap sebagai senjata untuk merubah segalanya di kemudian hari. 

“Ya…!! dengan cara..!”
 “saya harus selesaikan kuliah ini, secepatnya.” 
“Justru saya harus belajar untuk  ikhlas dan berjuang. Dari keadaan inilah sebagai awal kebangkitan saya menunjukkan kalau saya pasti bisa.”
“Apapun itu, saya harus bisa berjuang, harus bisa membanggakan orang tua dan keluarga.” 

Kata-kata yang tiada henti mengusik dirinya. Ia ingin mewujudkan sebuah kekuatan dimana dia ingin suatu saat nanti keberhasilan nya menjadi seorang sarjana pendidikan dapat terwujud. Tekad inilah yang membuatnya selalu yakin akan sebuah perjuangan. Meski terasa begitu berat ketika dirinya mulai terjatuh, tetap harus semangat ia ikhlas menjalaninya.

Dirinya tak pernah berharap, jika terlahir sebagai anak orang kaya, sebagai seorang anak dari keluarga yang berkecukupan. Karena selama ini, yang ia rasakan waktu dulu ketika masih bersama dengan kedua orang tuanya.

Ia melihat, betapa kejam nya keluarga-keluarga yang lain. Keluarga yang seharusnya memiliki kepedulian antar sesama, justru malah menjerumuskan ke tempat yang paling dalam. Keberadaannya membuat berbeda di mata di mata orang lain. Lantas, apa yang harus ia perbuat?

Cukup dengan kata, “Maafkanlah keluargaku ini buk, memang kami seperti ini kehidupannya.
”Jangan engkau hina dengan dengan kalimat yang buruk, karena tak pantas kita sebagai sesama manusia.
“Bukankah engkau masih bagian dari keluarga ini?”

Dia hanya berharap ada sedikit senyum yang tercurah dibalik penderitaannya. Se berkah cahaya indah dalam sela-sela kesulitan. “Ya..!! sebuah senyum, bukankah begitu itu?”

“Aku ini adalah anak yang pertama, kasihan mereka ini adik-adikku semua.” Kami hanya sebagai bagian dari keluarga yang sederhana yang ingin mendapatkan kebahagian yang sama seperti dulu buk? Jangan kau tambahkan saksi mata di kehidupan keluarga ini.

 “Bukankah mereka masih kecil?” “Sebenarnya tak ada yang ditutupi dari keluarga kami.” Karena memang kami  adalah keluarga yang sederhana berbeda dengan keluarga yang lain buk!. 

Hal inilah yang seakan-akan membuat keluarga Desi ter asingkan dari keluarga yang lain. keluarga yang selalu ter sakiti karena perbedaan status sosial. Kemiskinan seolah-olah menjadi jurang pembatas diantara keluarganya.

Jika memang benar yang di istilahkan orang, kalau besi keras dapat dipatahkan oleh air dengan mudah. Maka aku akan membuktikannya dengan tetesan air mata ini. Kalau memang benar air yang keruh dan kotor dapat berubah menjadi jernih dan wangi. Maka akan aku buktikan juga itu. Tapi bukan sekarang.

Setelah kedua orangnya tuanya meninggal. Desi tak tak tau harus berbuat apa, jika ia teringat akan masa dulu dimana ia masih bersama kedua orang tuanya, tentu tak akan seperti ini jadinya. Hatinya bersedih, jika ia mengingatnya terus.

“Kenapa harus aku pikul beban ini sendiri, ayah.. ibu!” 
Sejak kecil, aku menjadi saksi dalam kehidupan keluarga ini. Adik-adikku masih belum mengerti semuanya. Sedangkan aku? Lebih dari mereka. Bukankah begitu ayah.. ibu? 
“Maafkan, anakmu ini.” 

Dahulu keluarga kita di cerca, dengan kata-kata hina. Dijauhkan, diasingkan dari kehidupan mereka. Padahal mereka adalah kakak dari dari ayah, iparnya ibu sendiri. Tapi kenapa mereka sekejam itu ibu? Kini ke saya sendiri, dan tak bersama anak-anakmu yang lain.

Adikku si Intan sekarang sudah kelas tiga Sekolah Menengah Pertama dan si Wisnu kelas 6 Sekolah Dasar. Lihatlah bu, ayah. Mereka sudah mulai beranjak remaja. Tapi sekali lagi maafkan aku, aku tak bisa menjaganya menemaninya di kala mereka merindukan ku. 

Saat ini, aku ingin mewujudkan impian ku untuk menjadi orang yang berhasil.

“Ayah, ibu..!” satu tahun lagi aku selesai kuliah. Aku bisa seperti ini, karena semangat dan tekad ku untuk berubah. Bukan seperti yang dulu, waktu aku masih kecil. Dahulu pernah engkau cerita bu,  disaat engkau baru dengan ayah.

Ibu berkata, kalau engkau datang di keluarga ayah sendiri, hanya badan tidak ada yang lain dari itu. Di saat ayah sakit, ibu selalu di cerca di kata dengan kalimat yang tak pantas Bahkan pernah dituduh sebagai pencuri uang mereka, padahal tidak kan bu?

Justru yang mereka lakukan adalah sengaja, ingin menjebak keluarga kita supaya pergi dari rumahnya. Ini aku tau semuanya buk, tau akal jahat mereka. Meski, waktu itu aku masih kecil tapi akulah saksi mata. Ibu, ayah maafkan aku.

Tapi sudahlah, sudah lupakan lah… aku tak ingin mengingatnya lagi bu? Hati ku teramat perih, jika terus mengingatnya…! 

“Aku takut, jika kisah ini terjadi lagi dalam kehidupan ku nanti.”  
“Ibu, maafkan aku!”

Di usia yang sekarang, Desi telah merasakan kehidupan kisah tentang cinta sebagai seorang perempuan. Tapi entah kenapa, disaat cinta yang pertama hadir di lubuk hati membuat ia terjatuh dalam kegagalan.

Ia merasa dibohongi oleh janji manis seorang lelaki. Dan disaat cinta yang kedua hadir, ia tak ingin terjatuh lagi dari dusta. Ia berharap ini adalah cinta yang terakhir. Ia berharap kalau dirinya dapat dicintai apa adanya bukan untuk mendapat luka dan kembali ter sakiti seperti dalam hidupnya dulu.

Cintamu pergi dengan sejuta tanya yang mungkin tak kan pernah terjawab. Kini hanyalah waktu yang akan kembali membuktikannya. 

Dalam keheningan malam, aku menutup mata dan disaat aku berpijak di sebuah dasar yang tak bernapas, aku hanya bisa melepaskan angan-angan ku bersama, wahai sang pemilik hati. Bukan aku yang melukai dalam lisan ini. Tapi aku yang berbicara. Seandainya dirimu masih mampu mendengarkan ku, aku hanya meminta sadarlah. 

Tak lama kemudian, Desi terbangun dari tidurnya. Ternyata sudah satu jam lebih ia terlelap di tempat tidur. Lalu ia mencoba duduk, merebahkan badannya yang lemas di tiang penyangga dipan. Banyak  mimpi dalam tidurnya, banyak pula kisah yang ia rasakan.

Ia  ter sadar itu semua percuma, itu hanya akan membuatnya kembali terluka dan semakin membuatnya tersiksa. Bisikan dalam hatinya semakin menyadarkan lamunan bahwa semua ini tidak benar. Tak pantas menanti untuk orang yang telah melukai nya.
Maafkan aku, jika cinta membuat kita justru saling membenci. Mungkin sejuta maaf  akan percuma karena cintaku telah tertutup.

Desi tak ingin merasakan apa yang pernah dia rasakan, sama seperti masih dalam keluarga ibunya. Masih dalam masa kecilnya dulu, ketika ibunya merasakan dengan ayahnya. Cinta tak lagi bernama cinta. Hanya sebatas ucapan biasa. 

Kini, biarkan aku sendiri. Aku hanya akan menunggu waktu dimana sebuah tangis ku dulu, waktu aku dihina dari mereka dan datang meminta maaf. Aku tak ingin, menjalin cinta ini sama kisahnya dengan ibuku dulu. Berawal dari orang yang tidak punya apa-apa.