Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kerinduan Ibu

Kerinduan ibu
Gambar by Google

Hari masih  terasa sangat panas. Teriknya matahari masih  terasa begitu menyengat kulit . Langit yang berwarna biru nampak telihat begitu cerah, tak ada   angin dan awan  terlihat mulai berwarna putih cerah. Kumpulan rumpunan pohon-pohon bambu telah berlenggak-lenggok dengan sendirinya dihempaskan oleh angin. 


Debu-debu kian mulai beterbangan disapu angin dan bersarang pada daun hijau pepohonan. Daun-daunnya mulai banyak yang mengering mengikuti arah perginya angin. Nampak pula dari batang pohon akasia beberapa kawanan burung emprit terbang berputar memamerkan kicauan suaranya.

Berjalan seorang nenek tua berumur 67 tahun dengan kebaya hijau lusuh di badan rentanya. Dengan rambut yang hampir memutih di seluruh kepalanya. Kantung mata yang besar dan turun. Serta kerutan yang menimpa seluruh tubuhnya. 

Jalan bertanah merah itulah, yang hanya setengah meter ia lalui tiap hari. Jalan yang di sampingnya masih ditumbuhi rumput-rumput liar. Seliar nasib malang yang menimpa dirinya. Berdiri beragam pepohonan di sekeliling jalan desa itu.

Nenek tua itu berhenti sejenak di bawah pohon asam, di samping kiri jalan yang biasa ia lalui. Ia sandarkan tubuhnya yang kurus itu di bawahnya. Ia duduk di atas rumput liar, tepat di bawah pohon asam itu. Pohon asam yang tinggi dan rimbun, serta buahnya yang masih hijau dan lebat. 

Pohon asam yang memiliki umur separuh dari umurnya. Di bawah pohon asam itulah ia melepas sebentar lelahnya. Ia sudah berjalan satu kilo meter keliling kampung itu dengan kantung plastik hitam yang berisi terasi setengah kilo gram yang baru dibelinya di pasar. Ia merasa sangat lelah.

Di bawah pohon asam itulah ia diberikan kedamaian sejenak, dengan semilir angin yang membuatnya merasa nyaman untuk istirahat. Tanpa ia sadari Mbok Mulyati teringat masa lalunya. Ia teringat akan kebahagian dahulu yang pernah singgah padanya. Saat anak-anaknya masih berkumpul bersama dengannya. 

Dengan gelak tawa mereka. Ia rindu akan anak-anaknya. Di mana Saat suami yang sangat dicintainya belum pergi kepangkuan Gusti Alloh.

Mereka tinggal bersama dalam rumah yang sangat sederhana itu. Rumah yang hanya berdinding geribik yang terbuat dari anyaman bambu. Rumah yang hanya terdapat satu kamar yang kecil. Dengan  tanah berwarna hitam sebagai lantainya. 

Namun dengan kehidupan sederhana itu, ia dapat merasakan  kebahagiaan. Keluarga kecilnya dapat berkumpul di dalam rumah sederhana itu. makan bersama dan tertawa bersama. Meski dengan keterbatasan, hari-harinya selalu mereka ukirkan dengan kebahagian. Tidak seperti sekarang ini.

Mbok Mul bangkit dari duduknya. Ia ambil kantung plastik hitam di samping kanannya dan kembali berjalan di jalan kecil itu. Sepanjang jalan desa yang ia susuri, ia tawarkan terasi itu kepada ibu-ibu rumah tangga yang sedang duduk di pelataran rumah. 

Mereka tak asing dengan hal itu, tiap hari mbok mulyani selalu keliling desa dengan dagangan terasinya itu. Ya, hanya terasi. Bumbu dapur yang hanya bumbu sampingan, bukan bumbu pokok dalam masakan ibu-ibu yang membelinya. Dagangan yang selalu ia jajakan tiap hari dengan hasil yang sangat kecil. 

Sebenarnya tidaklah cukup hasil segini untuk biaya kehidupan sehari-hari. Tapi tidak  seberapa dibanding dengan rasa lelah yang menimpanya. Dan yang pasti menjajakan terasi tidak semudah menjajakan cabe ataupun bawang.

“Mbok mbok Mul! Saya beli terasinya 4 bungkus ya!”

Seorang ibu beranak 1 memanggilnya. Ibu muda itu langganan terasi mbok Mul. Berhentilah mbok Mul di depan rumah bercat coklat itu dengan memberikan terasi ke tangan ibu muda itu. Diberikannya uang sebesar seribu rupiah itu ke tangan mbok Mul. 

Ia bersyukur hari ini sudah ada beberapa orang yang membeli terasinya. Paling tidak uang yang diperolehnya bisa untuk tambahan ia membeli setengah liter beras untuk makannya hari ini. Dari kemarin sore ia belum makan. 

Ia hanya minum dua gelas air putih untuk menenangkan perutnya yang dari semalam selalu ribut saja. Menggerutu padanya, dan tidak bisa diajak kompromi. Ia tak tahu, sesungguhnya gerutuannya itu membuatnya meringis menahan sakit. Sejak sore kemarin  belum ada sesuatu apapun yang masuk ke perutnya kecuali air putih saja.

Berjalanlah pulang mbok Mul dengan satu kantong plastik hitam di tangan kirinya. Kantung plastik hitam yang berisi beras setengah liter dan sisa terasi yang dijualnya hari ini. Pulang dengan beban lelah yang berat pada kedua bahunya. 

Dengan kerinduan yang dalam pada ketiga anaknya. Anak yang selalu disayangnya. Ia berhenti sejenak saat ia berada di depan pitu rumahnya. Dengan sedih ia pandangi tempat tinggalnya itu. Itu tak dapat dikatakan lagi tempat tinggal. Melainkan kandang ayam atau kandang bebek. Ya kedengarannya kejam memang, tapi itulah kenyataannya.

Genting yang sebagian sudah jatuh terbawa angin, dan air dapat leluasanya masuk saat hujan datang. Dinding dengan bilik yang sudah berlubang di sana-sini, dengan tambalan karung beras yang acak-acakkan. Sungguh keadaan dalam rumah mbok Mul dapat terlihat dari luar. Kambing pun bisa leluasa keluar masuk lewat bilik yang tua dan berlubang itu.

Diambillah beras itu sedikit, dicucinya, lalu ia masak dalam tungku yang sudah berumur 8 tahun itu. Mbok Mul duduk di dekat tungku tua itu. Ia lah yang menjadi saksi bisu mbok Mul. Mbok Mul yang tiap hari hanya menangis, meratapi nasib malang yang menimpanya. 

Ketiga anak yang selalu dirindukannya, kini berada jauh dan tak pernah menjenguknya. Mereka tak ingat pada tubuh wanita renta yang telah mengandung mereka selama 9 bulan. Mengganti popok tengah malam saat mereka terbangun dan menangis, menyusui mereka, dan membesarkan mereka dengan belaian sayang. 

Tak ingatkah mereka pada itu semua. Mereka tega membiarkan mbok Mul yang sudah tua hidup sendiri dalam rumah reot yang sudah tak layak huni.

Mbok Mul mengambil dian, yang ada dimeja dekat tungku. Ia hidupkan dian itu, lalu ia letakkan di meja tua, yang salah satu kaki meja itu diganjal dengan batu tumpukan batu bata. Dian itulah yang menjadi satu-satunya penerangan di rumah mbok Mul. Tak ada listrik yang mengalir di rumah mbok Mul.

Sebenarnya dahulu Mbok Mul pernah menyalur listrik ke tetangganya. Namun karena iuran sebesar lima ribu rupiah yang harus dibayarnya tiap bulan, ia rasakan terlalu berat untuknya. Ia tak sanggup. Jumlah itu dirasa terlalu besar untuk mbok Mul. Untuk membeli beras dan cabe saja untuk makannya, itu sudah dirasanya begitu berat. Jika iuran listrik membebaninya, itu dirasakan semakin berat saja tanggungannya.

Mbok Mul berbaring di amben yang hendak ambruk beralaskan tikar yang sudah lusuh. Ia tak bisa memejamkan matanya. Ia selalu dihinggapi rasa cemas. Rasa cemas yang selalu mendatanginya ketika ia hendak melepas penatnya. 

Ia takut jika ada ular atau kala jengking yang masuk kerumahnya dan menggigitnya kala ia tidur  nyeyak. Ia takut itu. ia juga merasakan takut saat hujan datang disertai angin kencang. Angin itu dengan leluasa dapat merobohkan rumahnya yang sudah bolong-bolong itu.

Gusti...bawalah kemari anak-anakku, aku rindu mereka.”
Pipi mbok Mul basah terkena linangan air mata. Air mata yang hampir kering karena tiap hari harus mbok Mul keluarkan. Setiap hari dengan penuh harap ia selalu berharap agar anak-anaknya datang dan mengajaknya tinggal bersama mereka. Harapan sama yang diinginkan semua orang tua. Ia berharap, ia dapat menghabiskan masa tuanya dalam kebahagiaan dan kasih sayang anak-anaknya. Ia sangat berharap hal itu.

Jika mereka tak sudi mbok Mul tinggal bersama mereka tak apalah, asalkan mereka datang menjenguk mbok Mul. Dan tidak membiarkan mbok Mul hidup sendiri dengan ketakutan dan rasa rindu yang menyiksanya.

Setiap hari mbok Mul selalu berharap ada orang yang mengetuk pintunya yang selalu berderit saat dibuka, dan berharap anaknyalah yang datang. Ya, ketiga anak yang kini telah berkeluarga dan jauh dengannya. Putri sulungnya kini tinggal di seberang sana bersama  mertuanya dengan tiga orang anak. 

Putri keduanya berada di Jambi, juga tinggal bersama mertua mereka dengan dua orang anak. Sedang si bungsu, ia kini dengan suaminya menyewa kontrakkan yang kecil dengan dua orang anak yang masih kecil-kecil.

Mbok Mul tahu, perekonomian anaknya memang pas-pasan namun tidakkah mereka ingin melihat ibunya ini. Sudah tiga lebaran ini mereka tak pulang. Tiap hari dalam tidur mbok Mul, ia selalu bermimpi ketiga anaknya dengan suami mereka serta anak-anaknya datang ke rumah mbok Mul. Mereka makan dan berkumpul bersama. 

Mengabiskan waktu secara bersama-sama. Kasihan mbok Mul. Harapan itu hanya akan membuatnya merasakan sakit. Harapan yang selalu terbawa hingga mimpinya. Dan membuatnya menangis ketika mbok Mul terbangun. Ia semakin rindu dengan ketiga anaknya.

Ketiga anaknya kini sedang disibukkan dengan keluarga kecil mereka masing-masing tanpa mau memperdulikan keadaan mbok Mul. Semua kenangan masa lalu dengan ketiga anaknya selalu membuatnya bersedih. 

Hatinya terasa perih teriris-iris. Mengapa secepat itu ketiga anaknya tumbuh besar dan berkeluarga, hingga mereka mengabaikan mbok Mul seorang diri di rumah reot itu. Mereka tak memperdulikan perasaan kehilangan mbok Mul. Mereka tak merasakannya. Mereka disibukkan dengan keluarga mereka masing-masing. Apa salah mbok Mul sehingga mereka tega melakukan itu semua pada mbok Mul.

Sudah lima hari ini kampung terasa sepi. Suara khas mbok Mul saat menjajakan terasinya tak terdengar. Pelanggan-pelanggan terasinya menunggu mbok Mul datang ke rumah mereka. Mereka kehilangan mbok Mul. 

Badan mbok Mul panas, ia berbaring dalam ambennya. Ia meringkuk dengan selimut yang usang di badan kurusnya. Ia sakit. Dan ia tak bisa bangun dari ambennya itu. ia menggigil kedinginan. Ia merintih dan memanggil-manggil ketiga anaknya itu. Mbok Mul ingin sekali bertemu mereka.

Laksmi, tetangga mbok Mul heran. Sudah lima hari mbok Mul tidak meminta air bersih di rumahnya. Maka dengan penasaran ia pergi ke rumah mbok Mul. Ia ucapkan salam, tapi tak di dengarnya suara mbok Mul menyahut. 

Pintu rumah mbok Mul yang berlubang itu tidak dikunci. Laksmi lihat mbok Mul sedang tidur dalam ambennya. Didekatinya dan dipanggilnya namun mbok Mul hanya diam dan tak menyahut. Di goyang-goyangkan badannya tak juga mbok Mul bangun. Innalilahi wainnailaihi rojiun. Mbok Mul sudah dipanggil Gusti Alloh. Ia meninggal dengan mendekap foto ketiga anaknya.



Yatimaul amalia
VI.D