Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kesedihan Seorang Anak

Kesedihan seorang anak
Gambar by Google

Tak pernah aku sadari sebelumnya, akan perjuangan seorang ibu. Perjuangan yang ia lakukan dengan hati yang tulus dan ikhlas menyerahkan separuh hidupnya untuk masa depan anaknya kelak. Seorang ibu yang usianya sudah tidak muda lagi, seharusnya sudah berada di rumah untuk istirahat. 

Namun pada kenyataannya ibu harus bergelut dengan waktu melewati masa istirahatnya untuk bekerja. Pekerjaan seorang ibu sangat berat  seakan-akan menusuk hingga ke tulang iga. Meski di usia yang tidak seperti dulu lagi, tapi kekuatannya bagaikan sebongkah baja. 

Ibu  mampu memperjuangkan masa  depan anaknya dengan jerih payahnya sendiri. Apalagi semenjak bapak jatuh sakit, ibu harus berjuang sekuat tenaga dengan segala keterbatasan yang ia miliki. Aku teringat di tahun-tahun lalu saat ibu masih bekerja.

Di waktu siang. Ibu yang pantas menyandang pahlawan keluarga harus berjuang melawati waktu demi waktu. Ibu bekerja sebagai pembuat makanan jelly di pabrik milik tetangga samping rumah. Pabrik jally yang sudah berdiri tiga tahun ini bersamaan dengan lamanya ibu bekerja. 

Saat bekerja ibu harus merasakan panasnya ruangan akibat dampak kobaran api yang ada di setiap sudut tungku kayu. Karena dibagian ibu bekerja adalah bagian awal dalam pengolahan dasar, yaitu merebus air dalam sekala besar. 

Maka sudah pasti keringat bercucuran membasahi pakaian yang ibu kenakan. Aku tak habis pikir akan perjuagan ibu untuk keluarga. Karena saat itu aku masih SMA, aku hanya bisa melihatnya ketika ibu merasa letih dan lelah di rumah.  

Dan sekarang aku baru menyadari kalau yang namanya kerja itu tidaklah mudah. Apalagi dengan keterbatasan dan kemandirian ku saat ini di perantauan. Meski sekarang aku sudah memulainya dalam hitungan tahun. 

Berkat usaha dan doa kedua orang tau ku selama ini aku bisa bekerja di salah satu pabrik yang memang itu adalah pilihan ku. Sebenarnya dalam diriku tak ingin untuk pulang kerumah sebelum kesuksesan ku raih secara nyata. Tapi karena rasa sedih yang amat mendalam antara diriku dan kedua orang tua dirumah membuat aku ingin terus pulang.

          “Bu, besok aku mau pulang!!
          “Loh…!!! Bukannya, minggu kemarin kamu sudah pulang. Kok sekarang
            mau pulang  lagi.
          “Iya bu?? Tapi ini penting. Ada hal penting yang harus saya urus dirumah.
“Ya sudah… asalkan kamu hati-hati  diperjalanan pulang.
          “Iya.. Terimakasih bu, sampai bertemu dirumah. Salam buat bapak!!”
  Assalamualaikum..!!
          “Iya, nanti ibu sampaikan ke bapak mu!” Walaikumsalam,.!

Sedikit tangis menahan rasa ketika Taria mendengar suara ibunya lewat handphone. Ada sisa getaran kesedihan yang nampak terpancar di suara yang barusan ia dengar. 

Suara yang sudah tidak asing lagi baginya membuat getir di sepanjang hulu hati. Ingin rasanya ia menumpahkan segala tangis sebagai pelampiasan, namun tidak bisa. Mata sembab menahannya untuk tidak menjatuhkan linangan air mata suci. 

Ia mencoba untuk tetap tegar dalam menghadapi keadaan yang ia alami. Tapi apalah daya ketika kesedihan seakan menyelimuti dirinya. Membuat mata memaksa untuk menangis juga.

“Maafkan aku ibu!!” Selama ini aku belum bisa membahagiakan ibu dan bapak dirumah. Aku belum bisa membanggakan ibu dan bapak. Padahal ibu dan bapak ingin sekali merasakan keberhasilanku. Tapi nyatanya belum, aku di sini yang masih menyusahkan ibu dan bapak dirumah. Maafkanlah anakmu ini.

 “Ya Allah berilah ketabahan untuk hamba dan kedua orang tua hamba dirumah. Jagalah mereka, seperti mereka menjaga ku di waktu aku masih kecil dulu. 

Berilah mereka kesehatan yang sesungguhnya. Sembuhkan penyakit yang selama ini dirasakan oleh bapak ku. Ya allah hanya kepadamu aku memohon, hanya kepadamu aku meminta doa. Kabulkanlah doaku ini ya Allah.

Disela-sela doa yang Taria ucapkan, kedua tanggannya masih menggenggam erat handphone yang ia pegang lalu ia dekapnya handphone itu dalam peluk.  Seakan begitu nyata hadirnya seorang ibu di pelukannya. 

Terasa begitu hangat menyelimuti dirinya yang masih terkulai lemas diatas pembaringan. Ia mencoba untuk memejamkan mata sejenak, berusaha menahan tangis yang tidak  ingin ia rasakan lagi. 

Tapi apalah daya akan hatinya merasa sangat sedih, ketika teringat sosok ibu dirumah.  hingga berlinang air mata membasahi pipi. Sedikit terisak lantaran tak kuasa menahan derita yang dihadapinya sekarang.

Ia merasa bahwa hidupnya selalu diliputi dengan cobaan yang tak mampu ia hadapi sendiri. Meski ia mencoba untuk bersabar  dan tegar menghadapi setiap ujian, tapi tetap kodratnya manusia yang lemah. yang tak pernah luput dari salah. 

Hanya ucapan doa-doa yang bisa ia panjatkan kepada Sang Khalik agar ia selalu diberi kekuatan dan keikhlasan untuk melewati setiap ujian ini.

Tubuh Taria masih terkulai lemas di antara sudut kamar yang selama ini menjadi rumah baginya. Kamar dengan ukuran 5 X 6 meter persegi ia buat dengan susunan yang minimalis. 

Segala aktivitas sehari-hari ia pusatkan didalam kamar itu. Dari mandi, masak, makan, menyetrika belajar, bahkan tidur pun  ia lakukan ditempat itu juga. Beginilah perjuangan anak rantau yang bertahan hidup harus selalu mandiri. 

Berbeda dengan orang-orang lain diluar sana yang serba kecukupan. Tak perlu mereka bekerja keras menjadi buruh pabrik, mereka sudah dicukupi segala kebutuhan oleh orang tuanya.  

Tinggal minta apa yang mereka butuhkan pasti sekejap akan dituruti. Huft…Kuatkan diri hamba untuk melewati ujian ini ya allah!

Mata Taria masih berkaca-kaca memandang langit-langit kamar. Ada sisa tangis membekas membuat raut mukanya makin lebam. Ia mencoba menarik nafas pelan, berharap untuk menenangkan diri sejenak, lalu dihembuskan lewat hidung secara perlahan. Hal ini ia lakukan berulang kali hingga tak terdengar lagi suara isak tangis dari mulutnya.

Handphone itu masih di genggam erat di tangganya. Ia mencoba menghidupkan kembali handpone itu dan membuka menu gallery. Beberapa album foto ia lihat dengan tatapan nanar. Ia memilih dan dibukanya album foto dengan nama The Big Famili.

Satu persatu foto-foto itu dilihatnya seakan ia mengamati begitu seksama. Ada torehan rindu dirasakan Taria ketika melihat foto ibu dan bapaknya ketika masih bersama dirumah. Terlihat begitu ceria akan kehadiran keluarga besar yang di kala itu sedang  kumpul bersama dalam satu momen idul fitri. 

Diperbesar lagi ukuran foto itu dengan kualitas zom 95%,  terlihat jelas raut muka seorang ibu dan bapak yang sekarang ini sudah tidak muda lagi. Ada garis-garis keriput membercak pada wajah-wajah mereka, tersimpan butiran perjuangan yang selama ini mereka lakukan. Ibu dan bapak yang selama ini telah memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya.

Lalu di usapnya pelan dengan jari manisnya. Tanpa ia sadari dada semakin sesak untuknya bernafas, ia mulai menangis di kala melihat senyum yang tergelar tipis di tepian hati seorang ibu. Seorang ibu yang patut untuk dijadikan pahlawan dalam hidupnya. 

Berjuang dari waktu ke waktu untuk tetap bertahan hidup, meski pahit getirnya ia rasakan sendiri. Ia rela memberikan separuh hidupnya untuk anak-anaknya yang sekarang ini masih sekolah. Apalagi dengan keadaan bapak yang masih sakit, ibu tetap setia menemani setiap waktu.

“Maafkan aku ibu, aku belum bisa menjaga ibu dan bapak dirumah.”
“Aku yang belum bisa menyisihkan uang hasil kerjaku untuk biaya dan
  kebutuhan ibu dan  bapak.”

Ingin rasanya aku bisa menemani hari-hari ku bersama ibu dan bapak dirumah. Apalagi dengan  membantu biaya pengobatan bapak. Tentu ini yang ibu inginkan dariku.

Tapi justru sekarang aku hanya bisa mengeluh tentang cerita ku disaat kerja. Bolak-balik aku pulang kerumah tak pernah sedikitpun aku berikan upah kerjaku pada ibu. 
Bertahun-tahun lamanya aku bekerja sebagai karyawan pabrik, sangat sulit untuk aku sisihkan uang itu. Apalagi sekarang dengan kebutuhan kuliah dan kebutuhan sehari-hari ku disini yang harus aku membiayai sendiri.

“Ibu, Bapak…. Maafkan aku sebagai anakmu yang sampai saat ini belum bisa membahagiakan ibu  dan bapak secara nyata!”. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk tetap semangat dalam menjalani hidup ini. 

Aku yakin pada diriku sendiri suatu saat nanti aku bisa membuat ibu dan bapak bangga dengan keberhasilan ku. Dan kita akan hidup bersama seperti dulu lagi.