Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pertemuan Pertama Dengan Mbk Dita

Pertemuan pertama degan mb dita
Gambar by Google

Sudah tiga jam lebih aku duduk di kursi sofa berdekatan dengan pintu depan di ruang tamu. Aku duduk bersama seorang gadis yang belum lama aku kenal. Dia adalah mbak Dita, usianya tujuh tahun lebih muda dari usia ku. 

Aku memanggilnya dengan sebutan “mbak” agar dia lebih dewasa dari usianya. Apalagi aku sudah terbiasa dan nyaman apabila aku sapa dengan sebutan mbk Dita.

Ini adalah pertemuan pertama aku dengan mbak Dita. Sebelumnya aku merencanakan untuk main kerumahnya sekaligus bersilaturahmi. Rencana ini sudah tiga bulan yang lalu aku niatkan.

Entah siapa yang saling menunggu di antara kita hingga hari ini aku bisa duduk berhadapan langsung dengannya. Ada rasa canggung dan malu ketika aku melihatnya langsung, apalagi saat mengetahui kedua orang tuanya yang juga ikut duduk tak jauh dari tempat posisi ku berada. 

Ternyata mbak Dita orangnya baik, cantik dan sangat ramah. Baru aku ketahui juga kalau dia adalah orang yang berpegang teguh dengan prinsip kerja keras. Apapun yang menjadi keinginannya tentu akan ia lakukan meski itu sangat berat untuk di jalani. 

Apalagi kalau sudah mendengar nasihat dan perintah dari kedua orang tua pasti dia menuruti kemauan orang tua dan tidak akan menolak apa yang menjadi perintah dari orang tuannya.

Ternyata kesederhanaan dalam keluarga mbak Dita terasa begitu nyata. Terlihat keakraban mereka dalam keluarga membuat aku iri. Aku menganggap bahwa ini bukan pertemuan yang pertama untuk bisa bersilaturahmi di rumah ini. 

Keinginanku untuk lebih dekat dengan keluarga yang seperti amat rukun membuat aku ingin lebih lama di tempat ini. Saat itu aku merasa kalau aku adalah bagian dari keluarga mbak Dita. Tapi aku ini siapa? Ya..! aku hanya orang baru di sini. Tidak mungkin aku bisa menjadi bagian dari keluarganya.

Saat itu lelah ku mulai sedikit berkurang, karena hampir setengah hari aku menempuh perjalanan yang lumayan jauh dari kampung ku. Badan ku yang sebelumnya terasa sakit kini telah terobati dengan sebongkah kebahagian, karena bisa bertemu dengan mbak Dita.

Apa lagi saat ku nikmati sajian buah yang dia hidangkan di atas meja tepat di hadapanku. Ada buah rambutan, salak, dan beberapa roti yang dia susun sangat rapi diatas piring.

“Mbak tujuan ku ke sini ada sesuatu yang ingin aku katakan.”
“Apa itu!” Jawabnya singkat.
“Sebenarnya, kedatanganku kemari selain silaturahrmi juga ingin menyampaikan apa yang menjadi kegelisahan ku kemarin. Mungkin ini terlalu cepat aku katakan, tapi paling tidak aku sudah mengatakannya sekarang. Dan ini adalah kesempatan baik ku untuk jujur sekarang juga.”

“Iya, cepat katakanlah.” Apa yang ingin kamu katakan padaku. Balasnya seolah penasaran.
“Aku ingin memperjelas perkataan yang kemarin pernah aku sampaikan lewat pesan whatsapp. Aku ingin serius menjalani hubungan ini sebagai ikatan yang direstui oleh orang tua kita.  

“Maksudmu bagaimana? Aku masih belum mengerti apa yang kamu katakan.”
“Aku ingin melamarmu mbak.” Aku ingin mengajakmu menikah dalam waktu dekat ini. Kalau memang mbak Dita mau, dan orang tua mbak Dita juga merestui. 

Disaat itu, kulihat wajahnya yang cantik menjadi musam seolah ada perubahan yang mengisyaratkan kalau mbk Dita kaget dengan perkataanku. Lalu ku pandanginya lagi sembari senyum lepas padanya. Sedangkan mbak Dita masih terdiam, sembari merunduk menggenggam ponselnya. 

“Mbak, apa yang kau pikirkan saat ini!” Kalau boleh saya jujur semenjak aku mengenalmu aku mulai merasa dekat meski hanya lewat pesan whatsapp seperti itu, dan kedekatan ini kian meyakinkan ku untuk mengatakan jujur yang sebenarnya. 

Memang waktu itu, sengaja aku tulis pesan yang isinya adalah untuk mengajakmu menikah dan mbak Dita sendiri juga membalasnya siap untuk menikah. Saat itu aku merasa bahagia sekali, ternyata orang seperti mbak Dita seolah tau tentang isi perasaan ku. 

“Mbk..!” Ucapku pelan.
“Iya aku mengerti dan menyadari hal itu!” Balasnya singkat tapi penuh tanda tanya. Aku mengerti keadaanmu sekarang. Memang dalam pesan whatsapp saat itu aku seolah mengiyakan dan aku mau kalau kau mengajak ku untuk menikah. 

Karena memang keinginanku untuk menikah sudah dari satu tahun yang lalu. Tapi sekarang aku bingung. Entah apa yang ingin aku katakan padamu. Di saat pertemuan pertama ini ternyata kamu sungguh-sungguh padaku. Sedangkan aku tidak mempedulikan orang lain termasuk keluarga dan kedua orang tuaku. 

Apalagi sekarang ini aku baru saja di percayakan oleh perusahaan untuk memegang salah satu bidang baru. Seandainya aku menerima lamaranmu dan siap menikah di tahun ini lalu bagaimana dengan pekerjaanku nanti? Bagaimana dengan orang tua apa bila mereka tidak setuju!. Kamu tahu sendiri kan, jarak ramah kita sangatlah jauh dan yang di inginkan oleh orang tuaku selama aku menikah harus dekat dengannya. 

Aku tidak mau di katakan sebagai anak yang tidak berbakti, tidak bisa menuruti kemauan orang tua.

Mendengar penjelasan mbk Dita, akupun terdiam. Tak sanggup lagi aku memandangi wajahnya. Nafasku terasa sesak, jantungku berdetak tak karuan. Apakah ini pertanda buruk kalau niat baikku tidak diterima atau memang ini hanya perasaanku yang terlalu terbawa dengan keadaan di sekeliling tempat ini. 

Lalu ku ambil air putih kemasan botol dan ku minum disaat itu juga. Hal ini aku lakukan untuk mengurangi nafasku yang sudah tak karuan sesaknya. Tanpa ku sadari hingga dua botol air putih sudah aku habiskan dalam sekejab. Saat itu juga mendadak badan ku terasa sangat gerah, keringat mulai keluar dari pori-pori kulit hingga membuat bulu kuduk ku berdiri. 

Aku menoleh ke samping dan melepaskan jaket tebal yang sudah aku kenakan dari tadi. Melihat tingkah ku yang sedikit aneh, lalu mbak Dita berdiri dan meraih kipas angin mini dan meletakkannya di lantai. Lalu dihidupkan kipas tersebut tepat di depan wajah ku. Aku tersenyum kecil ternyata mbak Dita tau apa yang aku butuhkan. 

“Ya sudah mbak!” Kalau memang apa yang aku katakan tadi berat untuk dijawab sekarang, aku juga tidak akan memaksa. Cuma menurutku lebih baik aku katakan sekarang. Apapun keputusannya aku siap menerima. 

Kalau misalnya mbak Dita belum siap menikah cuma karena pekerjaan aku bisa memakluminya. Apalagi orang tua belum tentu setuju dan merestui hubungan ini, karena jarak rumah kita amatlah jauh. 

“Iya, orang tuaku pasti sudah menduga.” Apalagi dengan ibuku, pasti tidak akan mau kalau aku tinggal jauh. “Bagaimana kalau misalnya saya siap dan mau menikah, tetapi kamu yang tinggal di sini.” Kita bisa tinggal sementara dengan orang tuaku atau juga kita bisa tinggal di kontrakan sekitar sini.

Mendengar penjelasan mbak Dita  justru membuat badan ku  semakin gemetar. Aku merasa sangat gelisah tidak nyaman lagi aku duduk di kursi sofa itu. Rasanya ingin sekali aku berdiri dan menghampirinya lebih dekat lagi. Tidak ada maksud jahat padanya, tetapi aku hanya ingin menjelaskan alasan ku untuk mengajaknya menikah. 

Namun apalah daya, disaat badan ku semakin  terasa gemetar membuat mulutku kaku untuk berucap. Aku hanya bisa diam sesaat dan mencoba mengalihkan pandanganku keluar arah jendela.  Sambil ku atur nafas ku perlahan. Mungkin benar apa yang di katakan mbak Dita barusan, banyak perbedaan antara aku dengannya. 

Mungkin ini memang berat karena harus meninggalkan pekerjaannya. Apalagi mbak  Dita mungkin akan di angkat sebagai karyawan tetap di perusahaannya. Karena akan di percaya sebagai pemegang salah satu bagian baru perusahaannya. Sedangkan aku! Ya...! aku hanya orang biasa tak banyak punya pengalaman kerja.

“Mbak.! Kalau aku di suruh tinggal di sini tentu aku belum siap.” Bukan berarti aku tidak mau, tetapi memang banyak sekali alasannya. Hal ini sudah aku ceritakan sebelumnya kan.? Jelas  ku padanya pelan.

“Iya aku mengerti, aku mengingatnya.” Jawab mbak Dita.
“Mungkin ini sudah cukup mbak!” Aku tidak akan memaksa apa yang menjadi jawaban mbak Dita. Ini adalah hak mbak Dita sendiri tentu aku memakluminya. 

Tetapi kalau mbak Dita belum bisa memberi keputusan sekarang, aku akan menunggu satu dua hari kedepan atau bahkan satu minggu dari sekarang.

“Iya, baik!” Maaf kalau aku belum bisa memutuskan sekarang juga. Aku mau menenangkan pikiran ku dulu dan mempertimbangkan keputusan ini. aku mau sholat istiqoroh dulu. Mudah-mudahan aku mendapatkan petunjuk yang lebih baik untuk memutuskan pilihan ini.
“Iya mbak terimakasih.” Jawabku singkat. 


Sekian…!!