Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perjuangan Seorang Anak Sebagai Pemulung

Perjuangan seorang anak sebagai pemulung
Gambar by Google
Inilah Ujang!! Seorang anak berusia sepuluh tahun yang tinggal bersama dengan ayahnya pak Pak Ahmat. Setiap hari ia membatu ayahmu sebagai pemulung di kota tempat ia tinggal. Kota kecil yang padat akan penduduk dan bangunan gedung-gedung tinggi berdiri kokoh di sepanjang jalan. 

Di kota kecil inilah ia di lahirkan sebagai anak pertama dari dua bersaudara. Adiknya bernama Intan yang masih berusia delapan tahun. Ujang dan Intan sangat sayang dengan ayahnya. Bahkan ia rela putus sekolah hanya untuk membantu ayahnya mencari barang bekas sebagai pemulung di komplek perumahan kota.

Dulu Ujang pernah sekolah, tetapi hanya sampai di kelas tiga. Ia sengaja putus sekolah karena ingin membatu ayahnya bekerja. Ia tidak tega melihat ayahnya yang siang malam bekerja mencari nafkah untuk keluarga kecilnya. 

Sedangkan Intan di usia delapan tahun ini belum juga mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Maka wajar saja, jika ia tidak tahu tentang huruf abjad, apalagi membaca ia pun tidak bisa. Keseharian mereka berdua hanya bersama dengan ayahnya untuk menemani bekerja.

Saat ayahnya sibuk mencari barang-barang bekas di komplek perumahan dan persimpangan jalan, Intan hanya asyik bermain di dalam gerobak sambil sesekali menunjuk ke arah botol plastik seolah memberi tahu ayahnya untuk segera mengambilnya.

Sekarang ini yang menjadi tumpuan hidup dalam keluarga adalah sang ayahnya. Dari kecil ia tidak tahu siapa ibunya. Siapa yang telah melahirkan mereka berdua. 
“Mana ibu ayah?” Gumam Ujang berulang kali. Ketika mereka melihat orang lain yang seusianya, terkadang membuat dirinya cemburu. Seperti ada rasa ketidakterimaan dalam hidupnya. 

“Kenapa hidupku seperti ini?” 
“Mana kasih sayang mu ibu?.

Waktu itu, pernah Ujang tanyakan langsung soal keberadaan ibu kepada ayahnya. Tetapi ayahnya hanya menjawab.

"Ibu masih bekerja di luar negeri nak!” Jawab ayah berulang kali. 
“Huh ayah..! Bisakah kita seperti mereka yang selalu hidup senang serba kecukupan. Apalagi kalau ada ibu disamping kita. 

“Hemmmm..! andai aku yang jadi mereka aku pasti tidak seperti ini ya yah!”. Ungkap Ujang lagi. Lantas ayah hanya diam dan menggelengkan kepala saja. 

“Sabar nak..! kita sekarang sedang berjuang untuk merubah hidup yang lebih baik lagi!. Jawab ayah lirih.

“Iya ayah…! Tapi sampai kapan. Jawab Ujang sambil berlari meninggalkan ayahnya yang sedang memilih barang bekas di pembuangan sampah. 

Sejak kecil Ujang dan Intan dirawat oleh ayahnya. Sedangkan ibunya telah lama meninggalkan mereka berdua. Waktu itu usia Ujang berumur dua tahun, sedangkan Intan masih berusia satu tahun lebih. 

Ibunya sengaja pergi meninggalkan pak Ahmat hanya karena tidak tahan dengan status sosialnya yang serba kekurangan. Ibunya tidak mau kalau suaminya sebagai pemulung. Terlebih mereka tinggal di kolong jembatan dekat dengan bantaran sungai. Apabila musim penghujan tiba, pasti di lokasi tersebut terkena banjir.

Pak Ahmat sengaja menutupi keberadaan ibunya, agar kedua anaknya tidak tahu menahu soal hal ini. Ia berjanji akan selalu setia merawat kedua anaknya sampai besar nanti. Namun tuhan berkehendak lain, tepat di usia yang ke 40 tahun pak Ahmad meninggal dunia karena sakit demam berdarah yang tak kunjung sembuh. 

Di masa hidupnya pak Amhat menyimpan rasa sakitnya untuk tetap bekerja sebagai pemulung. Ia bekerja siang dan malam tidak pernah pantang menyerah. Tidak pandang panasnya terik dan dinginnya malam selalu ia jalani untuk mengais rezeki. 

Satu tekad dalam hidupnya adalah untuk bertahan hidup demi keluarga. Ketika pulang dari bekerja ia harus membawa barang hasil memulung yang nantinya akan di jual ke lapak. Profesi ini sudah ia jalani selama puluhan tahun semenjak baru menikah. Akan tetapi kehadiran sang istri tidak tahan dan akhirnya meninggalkan kedua anaknya di saat masih kecil. 

Kini Ujang dan Intan telah kehilangan semuanya. Ayah dan ibunya telah pergi meninggalkan mereka berdua. Setelah kepergian ayahnya ia tidak tahu lagi harus berbuat apa selain meneruskan profesi ayahnya sebagai pemulung. 

Dulu ayahnya pernah berkata  kalau pekerjaan yang ia lakoni adalah pekerjaan yang halal. Jadi jangan malu untuk menjalaninya. Meskipun itu di pandang sebelah mata oleh orang lain. Pesan ayah, tetaplah bekerja jangan menyerah atau pun putus asa. 

Mengingat pesan ayah tersebut membuat Ujang lantas berfikir untuk merubah sikap dari kesedihan yang ia rasakan. Ia tahu sekarang apa yang mesti ia lakukan adalah meneruskan pekerjaan ayah. 

“Ya..! Mulai sekarang aku berjanji akan berjuang untuk berusaha mencari rizki sesuai pesan ayah.” Gumamnya dalam hati. 

Apalagi sekarang, ia tidak ingin adiknya menjadi tambah sedih karena kepergian ayah. 

“Intan..! Maafkan kakak mu ini, kalau kamu harus ikut merasakan pahitnya hidup tanpa orang tua.” 

Waktu itu juga, Ujang dan Intan masih tinggal di tempat yang sama di bawah kolong jembatan. Namun, semenjak di tempat itu sering terjadi razia oleh satpol PP membuat mereka berdua harus berpindah-pindah tempat. 

Kalau mereka melihat ada razia, lantas ia melarikan diri ke tempat persembunyian yang aman. Sekarang istilah langit bagaikan atap dan bumi adalah lantai yang dia huni. Jadi mereka merasa bebas  mau tinggal dan tidur di mana saja.

Beberapa bulan kemudian ia bertemu dengan pak Maman yang juga berprofesi sebagai pemulung di komplek pasar dan terminal. Usia pak Maman seumuran dengan ayahnya dulu. Hanya postur tubuhnya saja yang sedikit gemuk dan kulitnya yang hitam langsat. 

Awal pertemuan mereka ketika pak Maman sedang mencari barang bekas di semak-sembak belukar kompleks pasar terminal. 

Tanpa sengaja pak Maman melihat seorang anak perempuan tidur beralaskan kardus tepat di bawah pohon pisang. Rambutnya yang keriting dan lusuh layaknya sama persis dengan baju yang ia kenakan. Ternyata anak itu tak lain adalah Intan yang sedang tidur sambil merintih memegang perutnya. 

Tanpa berfikir panjang pak Maman lantas membangunkan Intan dan memberinya sebotol air putih. Setelah itu Intan di ajak untuk istirahat di gubuknya. Dalam hatinya ia sangat kasihan melihat anak perempuan tidur seorang diri. 

Sesampainya dirumah, pak Maman lantas menanyakan asal-usul dari mana ia tinggal. Kenapa bisa tidur di tempat belukar seperti itu. Intan pun menjawab dengan jujur pertanyaan pak Maman. Sebenarnya ia tidak sendiri, melainkan bersama dengan kakaknya yang masih bekerja memulung.

Pak Maman tinggal di gubuk kecil yang berdinding geribik bambu. Gubuk dengan ukuran 5 X 6 meter telah membuatnya nyaman tinggal di tempat itu selama berpuluh-puluh tahun. 

Ia menceritakan kepada Intan kalau tempat yang ia singgahi adalah bangunan posko persinggahan kampung Punggur yang kemudian digusur dan dijadikan tempat pembuangan sampah. Tetapi sekarang telah hancur karena ulah pemerintah yang melakukan relokasi tempat pengungsian.

Tumpukan sampah yang berserakan dekat dengan area pasar dan terminal menjadi sumber rezeki baginya. Setiap hari apabila ada mobil bermuatan sampah yang lewat pasti di buang di lokasi dekat dengan pak Maman tinggal. Ketika melihat itu, lantas pak Maman langsung berlari cepat layaknya ingin menyantap makanan. 

Sore hari saat menjelang magrib terdengar suara teriakan memanggil nama Intan.

”Intan..! Intan...!” Kamu dimana! 

Suara yang sudah tidak asing lagi bagi Intan itu pasti suara kakaknya Ujang. Semenjak pulang dari memulung Ujang tak melihat adiknya yang tidur di bawah pohon pisang. Ia sangat khawatir kalau adiknya pergi atau di culik oleh orang jahat. 

Mendengar ada yang memanggil, lantas Intan berlari keluar dari gubuk pak Maman dan menghampiri kakaknya di lokasi tempat Intan tidur.

“Kak Ujang..!” Teriak Intan dari kejauhan.
“Hei..! Intan, kamu kemana aja!” Jawab Ujang merasa khawatir.
“Saya ada di rumah itu dengan pak Tua.” Ungkap Intan sambil menunjuk tempat rumah pak tua yang tak lain adalah pak Manan.
“Ayo kak ke sini!” Jawab Intan lagi mengajak kembali ke tempat pak Maman.

Akhirnya Intan mengajak kakaknya untuk bertemu dengan pak Maman yang telah memberi ia makan dan minum. Setibanya di sana Intan menjelaskan awal mula dia bisa berada di tempat itu. 

“La pak tua yang kamu maksud itu siapa Intan?” Ucap Ujang singkat merasa penasaran.
“Itu pak tua yang menolong ku kak!” Jawab intan sambil menunjukkan foto lawas yang menempel di dinding geribik.

“Tapi kak! Sekarang dia lagi pergi. Jawab intan lagi.

Mendengar penjelasan singkat dari adiknya, lantas Ujang bingung sambil kepalanya melihat-lihat beberapa foto yang masih terlihat awet menempel di setiap sudut ruangan.