Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perjanjian Untuk Sahabat Ku

Perjanjian dua orang sahabat
Gambar by Google
Sejak kecil aku sudah mengenal Dimas. Dia adalah sahabat terbaik yang pernah aku kenal. Dari mulai Taman Kanak-kanak hingga sekarang ini persahabatan kami masih tetap terjalin dengan baik. Jadi kalau dihitung sudah sepuluh tahun lamanya. 

Waktu yang cukup lumayan lama bukan? Suka duka dan berbagi keceriaan sudah pernah kami rasakan bersama. Kalau pun bertengkar pernah kami lakukan waktu masih duduk di sekolah Taman Kanak-kanak. Tapi setelah itu, kami baikan dan akrab lagi dengannya.

Oh iya, namaku Misja. Aku seorang siswa kelas delapan yang bersekolah di Madrasah Tsanawiyah Roudlatul huda. Sekolah yang banyak orang mengenalnya dengan istilah MTS, termasuk orang tua ku. 

Jadi Kalau ada tetangga samping rumah yang nanya tentang sekolahku, setahu mereka saya sekolah di MTs bukan Madrasah Tsanawiyah. Padahal antara Madrasah Tsanawiyah dengan MTs itu kan sama saja. Hehee…! Ya, maklumlah namanya juga orang tua.

Sekarang aku dan Dimas berada di sekolah yang sama di MTS RH. Padahal dulu dia pernah berkata kalau setelah selesai dari SD, dia akan melanjutkan ke sekolah SMP yang letaknya lumayan jauh dari rumah. Tapi entah kenapa, tiba-tiba di berkeinginan sekolah di MTS RH. 

Ketika aku tanya alasannya, ternyata cukup membuatku tercengang. Dia mengatakan kalau tidak ingin berpisah dengan ku. Menurutnya aku adalah teman yang baik dan suka membantu saat ada kesulitan belajar. Apalagi kalau misalnya dia SMP, tentu belum punya sahabat yang dikenalnya.

“DIMAS SAPUTRA”  adalah nama lengkapnya. Sebuah nama yang pernah tertulis pada kertas usang bersama dengan nama ku “MISJA”. 

Ketika waktu masih di sekolah dasar kami selalu belajar bersama setelah pulang sekolah. Pada waktu itu, Dimas sebagai ketua kelas memerintahkan ku untuk mencari teman yang lain untuk di jadikan sebagai anggota kelompok. Karena aku tidak mau menuruti perintahnya, akhirnya dia marah pada ku. Lalu aku di kejar-kejar olehnya sambil berteriak menyebut nama ku.

“Misja..! Misja...!” Awas kamu. Teriak Dimas sangat kencang, membuat aku kaget dan lari ketakutan.

Karena Dimas terus berlari mengejar ku dengan membawa sebatang kayu yang dia pegang. Lantas aku berlari lebih kencang lagi. Jujur waktu itu sangat takut. Baru kali ini aku melihat Dimas sampai marah seperti itu. Sampai akhirnya aku kehabisan tenaga dan berhenti berlari tepat di pinggir sungai Waya.

Dimas yang melihat aku berhenti berlari, lantas dia menghampiri ku dengan raut muka yang sudah merah. Sepertinya dia benar-benar marah pada ku. Terlihat dari wajah dan bola matanya yang melotot sambil menyebut nama ku. 

“Misjaaaaaaa…..! Kamu ini…..!” Ucapnya singkat penuh emosi. Sedangkan aku hanya bisa diam merunduk ketakutan tanpa berani bersuara. Apa lagi menyebut namanya, sungguh aku tidak berani. Aku khawatir kalau sebatang kayu yang dia pegang untuk di hantamkan ke tubuhku. Tetapi ternyata tidak. Ternyata diluar dugaan ku.

Sebenarnya dia berlari hanya iseng ingin membuatku takut padanya. Seolah-olah dia benar-benar marah padaku. Tapi ternyata, saat kulihat wajahnya yang dari tadi merah telah berubah dengan sebongkah senyum. 

“Misja..! Kamu kenapa berlari sangat kencang?” 

"Kamu takut padaku karena aku tadi menyuruh mu untuk mencarikan teman lain di kelompok kita!" Ucapnya menjelaskan ku. 

“Iya, aku takut sekali Dimas?” 

"Aku takut kalau kamu benar-benar marah padaku, sampai kamu berlari mengejar ku dengan membawa kayu itu." Jawab ku sambil menunjuk kayu yang Dimas pegang. 

“Oh..! Ini? Yah.. ini kayu Misja," tapi untuk memukul mu. Aku hanya ingin menakut-nakuti mu saja. Heheheeee….!! Ucapnya lagi sambil tertawa. 

“Ah..! Kamu ini Dimas payah!” Balasku singkat sambil tersenyum.

Di tempat itu, tepat di pinggir sungai. Aku dan Dimas lantas duduk di bawah pohon bantu yang sangat rindang. Kami istirahat melepas lelah karena kecapaian berlari. Nafas ku yang tadi terasa sesak kini mulai reda. Semilir angin di bawah pohon bambu membuat kami betah dan ingin berlama-lama di tempat itu. 

Kami bercerita banyak hal dengan Dimas. Bercerita mulai dari tugas pekerjaan sekolah yang sulit di kerjakan, tugas dirumah suruh bantu orang tua mencari ramban, sampai kami bercerita tentang teman ku si Ibnu yang paling sok dan merasa ganteng di kelas. Heheee…!! Tertawa kami berdua. Masih ada cerita lain yang kami bagi berdua sampai tidak terasa suara adzan waktu ashar telah berkumandang. 

Lantas setelah itu, kami berdua memutuskan untuk segera pulang ke rumah. Ketika di lokasi semak belukar, aku melihat beberapa botol besar tergeletak di atas tumpukan ranting kayu. 

Sepertinya botol tersebut sengaja di letakkan di tempat itu. Entah siapa yang punya, karena ku lihat di sekeliling tempat itu tidak ada orang lain selain aku dan Dimas. Seketika pikiran Dimas muncul dan mengambil botol tersebut dari atas tumpukan ranting kayu. 

“Hei..! Misja! Bagaimana kalau botol ini kita buang ke sungai waya saja!.
“Ah..! Jangan Dimas, siapa tahu ini botol ada yang punya.” 
“Emang siapa yang kamu maksud Misja?”
“Ya..! Mungkin juga yang punya tanah ini, atau orang yang lagi mancing di sugai ini!”
“Oh..! Iya ya..!” Jawab Dimas mulai mengerti.

Sesat kami terdiam, sambil memastikan menoleh ke kanan dan ke kiri memastikan lagi siapa pemilik botol besar berwarna putih ini. Emmm…..!!! Kulihat Dimas sedang memikirkan sesuatu. 

“Misja, bagaimana kalau nama kita di tulis di kertas kemudian kita masukkan ke dalam botol lalu kita lemparkan botol ini ke sungai.” Hahaaa….! Ucap Dimas mulai usil.
“Oke..! Ide yang bagus itu Dimas!” Jawab ku menyetujui.

“ Misja..!” Setelah menulis nama kita di kertas ini, kita sama-sama berjanji untuk tetap bersahabat sampai kapan pun. Jangan ada perpisahan di antara kita mulai dari sekarang.! Ucap Dimas seolah menjelaskan tentang sebuah persahabatan.

“Emmm…! Boleh juga Dimas.” Aku setuju!.

Dengan segera Dimas mengeluarkan kertas putih yang di sobek dari buku catatan pelajaran. Aku melihat kertas itu sudah tidak seputih layaknya kertas baru. Kertas yang sudah usang penuh dengan gambar dan bercak noda bekas terkena air. 

Di atas kertas itu lantas Dimas menuliskan namanya lengkap (DIMAS SAPUTRA) kemudian di bawahnya di tertulis namaku (MISJA). Tulisan Dimas menurut ku sangatlah bagus dan rapi. Berbeda dengan tulisan ku yang jelek susah untuk di baca.

Setelah itu,  kertas tersebut di masukkan kedalam botol dan di lemparkan ke arah sungai Waya seraya mengucapkan kalimat 

“Bismillahhirarrahmanirrahim……!!” 

"Ucapan dan gaya Dimas melemparkan botol seketika membuat ku tertawa.

“Hahahaaa…! Dimas.” Kenapa kamu seperti itu?”

“Ah…! Tidak apa-apa Misja”

“Sekarang kita berdoa semoga persahabatan ini tetap terjalin dengan baik.” 

Sampai kita  melanjutkan  ke sekolah yang lebih tinggi lagi, kita tetap bersama-sama dan bersahabat. Semoga doa kita terkabul Dimas. Ucap Dimas lagi penuh harap bahwa persahabatan adalah kebersamaan. Padahal aku dan Dimas sekarang kasih kelas 5 SD.

Waktu itu, ku lihat muka Dimas penuh serius. Mulutnya komat kamit seolah sedang membaca doa yang dia inginkan. Kedua tangannya yang masih memegang pena dan kertas tidak dia hiraukan untuk tetap berdoa. 

Sedangkan aku hanya mengikuti gerakan Dimas sambil sesekali memejamkan mata mencoba berdoa dengan sangat berharap agar persahabatan ini menjadi yang terbaik. Dalam hati kecil ku berkata “Wahai engkau Dimas, engkau adalah sahabat terbaik ku saat ini.


Setelah itu, kami berdua pulang kerumah dengan membawa senyum dan harapan doa tentang persahabatan ku dengan Dimas.