Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Salah Paham

cerpen salah paham
Gambar by Google

Namaku Nupus imelda, biasa di panggil Nupus. Sedangkan kakak ku bernama teh Eca. Setiap Minggu pagi pukul 06.00 aku dan teh Eca selalu  olahraga di depan  rumah. Mulai dari senam, lari, lompatan, dan masih banyak lagi gerakan lain. Olahraga ini sudah menjadi bagian dari kegiatan rutin ku selama setahun ini. Aku merasa sangat senang sekali bisa olahraga di hari libur, apalagi memang hobi ku adalah olahraga. Jadi sangat wajar!

Kata teh Eca, olahraga itu banyak sekali manfaatnya. Selain membuat tubuh kita agar tetap sehat juga dapat membuat daya tahan tubuh menjadi kebal dan tidak mudah sakit. Jelasnya padaku.

Di tahun sebelumnya aku biasanya olahraga sendirian, tidak ada teman lain. Toh kalau misalnya bareng dengan teman lain, mungkin kalau pas lagi di sekolah pada saat mengikuti jam pelajaran penjas yang biasanya olahraga senam, lari, nari dan lain-lain.

Semenjak teh Eca pulang dari Jakarta, ia selalu mengajak ku untuk terus rutin olahraga. Kapan pun waktunya, kalau pas hari Minggu pagi pukul 06.00 aku selalu stanbay keluar rumah. Tetapi pagi itu aku merasa jengkel sekaligus malu. Ini karena aku merasa salah paham dengan sebutan pada namaku.

Pada saat aku dan teh Eca berlari dari jalan aspal depan rumah menuju ke arah desa sebelah yang jaraknya kurang lebih 1 km. Dengan mengenakan seragam kaos berwarna hijau aku berlari bersebelahan dengan teh Eca. Langkah demi langkah kami tapaki jalan aspal itu dengan ayunan sepatu baru  yang aku beli kemarin.

Lama-kelamaan satu persatu keringat mulai berjatuhan membasahi handuk kecil yang aku lilitkan  di leher. Badan ku juga sudah mulai terasa panas dan nafas ku yang mulai tersengal tak beraturan. Lalu sesekali aku berhenti kemudian menenggak air putih yang aku bawa dari rumah.

“Huft..! capek teh..! kita berhenti dulu ya!” ucapku mengajak teh Eca untuk sejenak  berhenti dan beristirahat.
“Iya, Nupus..! Teteh juga capek nih..! jawabnya.

Sambil berjalan kami beristirahat, untuk sekedar mengatur nafas yang dari tadi sudah ngos-ngosan. Lalu ku usap wajah ku yang berkeringat dengan handuk kecil yang aku kenakan.Tidak terasa ternyata kami sudah berlari sejauh 500 meter dari rumah. Ya..! lumayan jauh juga, pantas aja aku sudah terasa capek.

Waktu itu, suasana di jalan yang aku lewati terlihat masih sepi. Belum ada satu pun kendaraan yang yang melintas. Padahal hari biasanya ramai pedagang sayur yang melintas untuk menjual barang dagangannya sambil membunyikan klakson.

"Tin..! Tin..! Sayur-sayur," kalimat yang sering di ucapkan oleh pedagang sayur kepada ibu-ibu sekitar.
“Sepi amat ya teh..!” ucap ku singkat.
“Iya, Nupus..! tumben ini, tidak seperti hari biasanya. Balas teh Eca pada ku.

Lalu aku mengajak teh Eca untuk berhenti sejenak dan duduk di atas saluran drainase yang airnya mengalir sangat deras. Aku dan teh Eca mencoba beristirahat dengan posisi kaki ku bentangkan di antara  kedua sisi drainase. Tujuanku adalah untuk memperoleh kesegaran dari luapan air yang mengalir deras pada drainase tersebut. Ternyata airnya terlihat sangat jernih sekali. Rasanya ingin cepat turun dan cuci muka biar wajah menjadi segar kembali. Tetapi tidak mungkin, karena aku malu melakukannya. Aku hanya berdiri saja sambil menikmati kesegaran di tempat itu.

Tepat di depan rumah salah satu warga aku melihat seorang perempuan yang seusia ku sedang berlari keluar rumah sambil melambaikan tangan. Ia memanggil nama ku berulang kali.

“Nupus..! Nupus..!” Kamu mau kemana loh!”
“Eh….! Nupus..! malah jongkok di situ.
“Kamu kalau buang air besar jangan di situ Pus!” Jorok tau?
“Nupus..! Eh..! Hust-hust..!” Kata perempuan itu yang belum ku ketahui namanya.
“Ibuk..! Ibuk..! Lihat nih, nupus buang air besar di situ buk! Ucap perempuan itu lagi  dengan nada yang lebih keras, sambil memanggil ibunya yang ada di dalam rumah.

Tidak lama kemudian terlihat seorang ibu yang berdiri di ambang pintu rumah depan.
“Eh..! Nupus” Kamu eek..di situ ya Pus!
“Kenapa kamu eek di situ!” Ayok pergi kau.. Hust-hust..!!  Suara ibu itu yang mungkin adalah orang tuanya.

Aku yang mengira kalau nama ku dipanggil berulang kali, lantas aku ingin segera berjalan mendekat ke arah perempuan itu. Aku ingin marah, karena di kira aku sedang buang air besar. Padahal aku cuma numpang istirahat saja mencari kesegaran dengan memanfaatkan luapan pada air yang mengalir di drainase tersebut. Aku tidak melakukan  ada hal lain dari itu. Apa lagi sampai buang air besar segala. Emangnya aku ngak malu apa..! batinku sangat kesal.

“Huftt! Awas ya!” ucapku pelan saat menghadap ke arah teh Eca.
“Teh..! liat orang itu," masak aku di tuduh oleh mereka, kalau aku buang air besar” tambahku lagi.
“Iya..ya!” Kan kita ngak ngapa-ngapain ya Nupus. Kok di kira kamu buang air besar sih..!
“Atau jangan-jangan kamu beneran buang air besar dalam celana ya?
“Huf….! Bau Nupus.! Ledek teteh Eca pada ku.
“Apaan sih teh..!” Emangnya aku buang air besar, ya enggak lah..! orang aku cuma numpang duduk di sini doang. Ini juga karena capek istirahat dari tadi kita lari terus. Balasku menjelaskan kepada teh Eca.
“Ihhh…! Nupus…!” Kamu E…EK ya? Ledek teh Eca lagi sambil memegang hidungnya.

Aku yang merasa jengkel karena tidak sabar dengan perempuan itu, lantas aku berlari ke arah mereka yang masih berdiri di dekat pintu depan. Lalu aku mendekati mereka berdua dengan tatapan mata yang tajam dan aku menunjukan wajah yang  nanar penuh dengan gaya orang sedang emosi. Sementara teh Eca hanya menunggu ku di pinggir jalan aspal sambil memandangi ku berjalan menuju rumah tersebut.

Tepat aku di depan mereka yang masih berdiri di ambang pintu depan rumah. Aku sudah tidak sabar lagi ingin marah melampiaskan segala emosi. Kedua mata ku melotot memandang ke arah perempuan itu dan ibunya.  Meskipun aku belum mengenalnya, bagi ku masa bodoh. Biar aku di kata orang tidak sopan, tidak tahu etika dengan orang yang lebih tua. Itu semua masa bodoh, karena aku sudah terlanjur emosi ingin cepat marah. Aku sudah tidak tahan lagi ingin cepat melampiaskan segala amarah kepada  mereka  yang seenaknya saja telah menuduh ku buang air besar di tempat itu.

“Ehhhh..! bukkk” jangan asal menuduh yaaa? Maaf aku tidak buang air besar di tempat itu.
“Aku tahu diri lah..!” masak iya aku berani-beraninya buang air besar di pinggir jalan.
“Aku ini hanya duduk istirahat sebentar sama teh Eca!” Itu lihat orangnya teh Eca masih berdiri di tempat itu,” Ucap ku menjelaskan kepada mereka dengan nada keras sambil tanganku menunjuk ke arah teh Eca.

Sementara ketika aku bicara panjang lebar, justru perempuan itu dan ibunya hanya bengong memperhatikan ku. Entah apa yang mereka pikirkan seolah tidak mengerti akan maksud ku ini.

“Buk..!! ada apa ini, kenapa dia marah kepada kita!” ucap perempuan itu tiba-tiba.
“Ah..! tidak tahu juga nih..! Kenapa dia berani  berkata seperti itu!” padahal salah kita apa!" balas ibunya singkat.

Kemudian ibu itu melangkahkan kaki berjalan mendekati ku yang masih berdiri di depan rumahnya. Ia mempersilahkan ku untuk duduk di kursi kayu panjang dekat dengan pot bunga mawar. Aku yang masih merasa tidak terima dengan tuduhan tadi, lantas aku menolak dengan ekspresi wajah penuh emosi.

“Eh…!” maaf nak..! Kamu marah-marah kenapa?
“Kenapa kamu jadi emosi seperti ini!” Ini saya orang tua loh..! Tidak sopan kamu sama orang tua berkata seperti itu. Jelasnya.
“Iya ini buk, enggak tahu kenapa dia datang kok marah seperti ini.” Emang salah kita apa ya buk..! jawab anak perempuannya lagi.
“Tahu ini..!” Coba nak..! kamu tanya dulu kenapa dia marah kepada kita. Memangnya ada yang salah dengan kita berdua. Tegas ibu itu menyuruh anaknya untuk menanyakan kesalahan kepadaku. Belum sempat anak perempuannya bertanya lagi, lantas aku langsung memotong kalimatnya dengan lebih tegas lagi.
“Itu, tadi apa coba.” Kenapa ibu sama anak ibu menuduh ku buang air besar di tempat itu.
“Loh..! Siapa yang menuduh mu nakk!!! Siapa yang menuduh mu loh..! Ucap ibunya lagi.
“Barusan anak ku manggil Nupus bukan manggil kamu. Nupus itu kucing kesayangan anakku. Itu lihat kucingnya masih jongkok di samping kamu. Karena kebetulan kucing itu buang air besar di dekat pot bunga, makanya kami berdua marah.” Ucap ibunya lagi menjelaskan sambil jarinya menunjukkan kearah kucing yang sedang diam jongkok  seolah memperhatikan ucapan kami bertiga.
“Itu kucing kesayangan anak ku.” Namanya Nupus.! Biasa di panggil oleh kami Pus-pus!!
“Dan kami itu marah, karena si Nupus sedang  e..ek di situ.” Jelasnya lagi.
“Iya buk, orang kita manggil si Nupus kucing kesayangan ku agar tidak buang air besar di situ. Ucapnya lagi menjelaskan.

Tak lama kemudian seekor kucing berwarna coklat mulus yang dari tadi masih terdiam diri di antara pot bunga mawar lantas berlari memasuki rumah. Setelah itu tercium aroma yang sangat menyengat di lubang hidung ku.

Kami bertiga lantas spontan menutup lubang hidung masing-masing dengan jari tangan. Tidak lebih dari itu, handuk yang masih saya kenakan juga aku tempelkan di depan kedua hidung ku. “Sungguh ini aroma kotoran kucing yang sangat menyengat. Ternyata benar barusan kucing itu buang air besar. Dasar kau kucing, tidak tahu diri. Batinku dalam hati.

“Emang..! nama kamu siapa?” tanya anak perempuan itu.
“Nama ku Nupus! Jawab ku.
“Loh..! berarti namanya sama dong dengan nama kucing ku?
“Nama kucing ku juga Nupus loh.” Jelasnya lagi.

Mendengar penjelasan singkat dari perempuan itu, sejenak aku menjadi bengong. Aku mulai berpikir kalau ada yang salah paham dengan diriku sendiri. Ternyata nama ku sama dengan nama kucing kesayangannya. “Aduh..! aku harus bagaimana ini?” batin ku dalam hati.

Lalu kulihat perempuan itu tersenyum pada ku dan juga ibunya ikut juga tersenyum. Mereka berdua memandangi ku dengan harapan bahwa aku yang salah paham.

“Berrrarrtiiiiii!” Aku salah paham ini..!!
“Kirain tadi nama ku yang di panggil!” Nupus..Nupus! Makannya aku marah tidak terima.
“Kalau begitu aku minta maaf ya, telah menuduh ya enggak-enggak. Jawab ku pelan sambil bersalaman kepada perempuan itu dan juga ibunya. Berharap mereka bisa memaklumi dan memaafkan ku segera.
“Oh..! iya, tidak apa-apa.
“Saya maafkan.” Jawabnya singkat sambil tersenyum.

Aku yang saat itu merasa salah paham dan malu sendiri, lantas segera berpamitan untuk segera pergi. Jujur aku sendiri merasa sangat malu, karena ternyata yang mereka bicarakan bukan tentang nama ku melainkan nama kucing kesayangannya. Hehehee…!!